Shalawat Sulthon


Bismillahir Rahmanir Rahiim

Allahumma sholi ala Sayyidina Muhammadin abdika wa nabiyika wa rusulika nabiyil ummi

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ رَحْمَةِ الله
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ فَضْلِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد بِعَدَدِ خَلْقِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَا فِى عِلْمِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ كَرَمِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ حُرُوْفِ كَلاَمِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ كَلِمَاتِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ قَطْرِ اْلاَمْطَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ وَرَقِ اْلاَشْجَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ رَمْلِ اْلقِفَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ اْلحُبُوبِ وَ اْلثِمَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَا اَظْلَمَ عَلَيْهِ اللَّيْلِ وَ اَشْرَقَ عَلَيْهِ النَّهَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَنْ صَلَّ عَلَيْهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَنْ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ اَنْفَاسِ اْلخَلْقِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ لُجُُوْمِ السَمَوَاتَََِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد بِعَدَدِ كُلٍَّ شَىْءٍ فِى الدُّنْيَا وَاْلاَخِرَةِ
وَصَلَوَاتُ اللهِ وَ مَلاَءِكَتَهُ وَ اَنْبِيَاءِهِ وَ رُسُلِهِ وَ جَمِيْعِ خَلْقِهِ عَلَى سَيِّدِ اْلمُرْسَلِيْنَ وَ اِمَامِ اْلمُتَّقِيْنَ
وَ قَاءِدِ غُرِّ اْلمُحَجِّلِيْنَ وَ شَفِيْعِ اْلمُذْنِبِيْنَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ اصْحَابِهِ وَ اَزْوَاجِهِ
وَ ذُرِّيَتِهِ وَ اَهْلِ بَيْتِهِ وَ اْلاَءِمَّةِ اْلمَضِيِّيْنَ وَ اْلمَشَاءِخِ اْلمُتَقَدِّمِيْنَ وَ الشُّهَدَاءِ وَ الصَّالِحِيْنَ
وَ اَهْلِ طَاعَتِكَ اَجْمَعِيْنَ مِنْ اَهْلِ السَّمَوَاتِ وَ اْلاَرَضِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ
وَ يَا اَكْرَمَ اْلاَكْرَمِيْنَ وَ اْلحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ وَ صَلَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ

عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلِّمْ

“Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah rahmatnya Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah keutamaan dari Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah ciptaan Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah apa-apa yang ada dalam pengetahuan Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah kemuliaan dari Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah huruf Kalamullah (Kitab-Kitab Allah). Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah kalimat Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak tetesan air hujan. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah daun-daun pepohonan. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah butir pasir di gurun. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah biji-bijian dan buah-buahan. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah yang dinaungi kegelapan malam dan diterangi oleh benderang siang. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah orang yang telah bershalawat kepadanya. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah orang yang belum bershalawat kepadanya. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah napas-napas makhluk ciptaan. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah apa yang ada di seluruh langit. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah tiap-tiap sesuatu yang ada di dalam dunia dan akhirat. Dan segenap shalawat dari Allah beserta para malaikat-Nya, dan para Nabi-Nya, dan para Rasul-Nya, dan seluruh ciptaan-Nya, semoga tercurah atas junjungan para Rasul, pemimpin orang-orang yang bertaqwa, pemuka para ahli surga, pemberi syafa’at orang-orang yang berdosa, Nabi Muhammad dan juga atas keluarganya, para sahabatnya, istri-istrinya, keturunannya, ahli baitnya, para pemimpin yang telah lampau, para guru yang terdahulu, para syuhada dan orang-orang soleh, dan yang senantiasa taat kepada Allah seluruhnya, dari penghuni bumi dan langit, dengan rahmat-Mu, wahai yang Maha Pengasih dan Penyayang, dan Engkau Yang Maha Mulia dari semua yang mulia, segala pujian bagi Allah Tuhan alam semesta. Dan shalawat serta salam atas Nabi Muhammad beserta KELUARGA DAN SAHABATNYA.

Karakteristik wanita /istri yang menjadi pendamping hidup idaman pria /suami


Bismillahir Rahmanir Rahiim
 
Allahumma sholi ala Syaidina Muhammad Wa Ali syaidina Muhammad

Selalu memberikan masukan kepada suami
Tidak jarang seorang suami tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya setelah mereka berumah tangga. Oleh karena itu, yang pertama harus dikerjakan seorang istri adalah membantu memperjelas angan-angan dan keinginan yang ada dalam benak suami. Seorang istri harus membantu suaminya mengetahui apa target yang dikejar dalam kehidupannya. Tentu dengan bahasa yang baik dan spoan, tidak seolah-olah menggurui.

Membantu suami merancang target baru
“Jika kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,” (QS al-Insyirah : 7)
Bila suami telah berhasil merealisasikan tujuan yang dikehendakinya, istri harus menyampaikan pada suaminya bahwa keberhasilan suatu tujuan bukan akhir dari segala-galanya. Tapi, keberhasilan suatu target adalah awal langkah mengejar target yang lain. Yang penting disampaikan kepada suami adalah bahwa janganlah takut tidak berhasil mengejar suatu target.

Mendampingi suami hingga berhasil meraih target
Tindakan logis yang dilakukan oleh setiap istri yang berpikir cemerlang sewaktu berada di samping suaminya adalah membantunya dengan kata-kata yang baik, memberikan senyuman yang memotivasi, dan mendorongnya terus-menerus untuk merealisasikan semua target yang diharapkannya. Setiap keberhasilan yang diraih bukanlah milik sendiri, melainkan milik mereka berdua.

Menghidupkan semangat dan harapan suami
Di antara ciri khusus istri cerdas adalah selalu berusaha membangkitkan semangat dan menghidupkan harapan dalam diri suaminya, begitu pula pada anaknya, saudaranya, atau ayahnya sekalipun. Janganlah sekali-kali seorang istri mengatakan bahwa suaminya selalu mengalami kegagalan. Menurut Margaret Colcen, kewajiban terpenting seorang istri adalah memanfaatkan waktu makan bersama untuk berbicara dangan suami tentang harapan, optimisme, dan keberhasilan.

Bunda Khadijah selalu mampu memberikan semangat untuk Muhammad Saw lewat kata-kata dan perilaku yang menarik. Ungkapannya berisi daua hal:
1. Meyakinkan kepada suami bahwa perjuangannya benar dan lurus.
2. Memuji dan menganggap suami mempunyai potensi yang dapat dijadikan modal.
3. Dorongan semangat bahwa usahanya akan berhasil dan menghasilkan.

Jangan lupa, pujian yang tidak berlebihan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pembangkitan suami.

Mengimbangi kecemasan suami dengan sikap dan tindakan simpatik
Seorang wanita sama sekali tidak dapat membahagiakan suami dan mendorongnya mencapai keberhasilan, kecuali bila ia tetap kreatif dan mampu menghiburnya. Hendaklah seorang istri benar-benar memahami bahwa suaminya sangat membutuhkan pandangan yang mendalam dari istrinya mengenai apa yang dilakukannya.

Harus dipahami oleh seorang istri, kecemasan suami mendorongnya uring-uringan, terkadang marah-marah, dan emosinya cepat meninggi. Hal ini sangat wajar, sebab, suami sedang mencari pelampiasan ketegangan. Sebagai istri yang baik, jangan sekali-kali mengimbanginya dengan emosi dan marah juga. Sikap yang seperti itu, ikut terbawa marah dan emosi, dapat membuat kapal suami yang semakin menghilangkan kekuatan semangat dan kesabarannya. Yang tepat dilakukan oleh seorang istri adalah menyarankannya untuk berdzikir kepada Allah dan sholat. Atau, ajaklah dia tidur, supaya ketegangannya menurun.

Tidak merecoki tekad bulat suami
Tekad seorang suami memerlukan perekat yang kental dari istrinya. Keinginan merecoki tekad suami adalah akibat istri yang tidak membiasakan belajar bersabar. Yang lebih parah, ketakutan kehilangan suami dan perasaan cemburu yang tak beralasan membuat istri menghalangi suaminya uintuk maju.

Pandai melontarkan kritik membangun
Kritik yang diberikan seorang istri adalah bantuan berharga bagi seorang suami. Orang yang paling tahu dan merasakan kekurangan suami adalah istri. Istri adalah orang yang tahu luar dalam suaminya.

Anti campur tangan
Seorang istri cerdas akan menguras pikirannya untuk mencari cara agar suaminya dapat tenang dan konsentrasi pada kegiatannya. Ia akan membiarkan suaminya berbuat dan mengerjakan pekerjannya tanpa ikut campur di dalamnya, jika suaminya menginginkan hal itu.

Rela memberikan waktu luas kepada suami untuk konsentrasi pada tugasnya
Seorang suami yang pandai adalah suami yang dapat memenuhi kewajiban tugas dan hak keluarga. Sedangkan istri yang cerdas adalah istri yang banyak legowo atas hak diri dan lebih mementingkan kemaslahatan keluarga. “Biarlah dia kurang memperhatikanku, asalkan keutauhan dan kemaslahatan keluarga terjaga dengan baik,” moto inilah yang biasa dipegang wanita terpelajar.

Belajar Menjadi Istri Yang Baik
Anda seorang gadis atau sudah bersuami maka tip dibawah ini sangat berguna bagi kaum hawa.
jika anda seorang istri atau akan menjadi seorang istri maka anda harus banyak belajar menjadi istri yg baik karena keharmonisan sebuah rumah tangga ada ditangan sang istri,langkah yg harus anda ambil adalah sebagi berikut :
1. Sang istri harus bersikap baik kepada suami dan jdkan suami raja bagi anda
2. Menjaga kerahasiaan rumah tangga
3. Tidak pernah menceritakan keburukan suami sama tetangga dan teman
4. Selalu bersifat ramah mudah senyum kepada suami
5. menghargai suami meskipun suami anda seorang pekerja murahan/pengangguran
6. Jagan pernah meninggikan suara anda terhadap suami
7. Selalu bersikap sabar
8. Hindarkan dari sifat menggosip
9. setiap suami pulang kerja harus mempersiapkan sekurang2nya sebuah senyuman dan
segelas air putih
10. selalu menerima apa adanya keadaan suami
11. selalu mngucapkan syukur alhamdullilah setiap diberi uang kepada suami berapapun
nilainya
12. Mengukur kemampuan suami
13. Tidak pernah pilih kasih antara keluarga anda dan suami
14. menjaga dan merawat bagian kewanitaan anda
15. selalu siap melayani suami saat suami ngajak berhubungan kapan aja dan jagan pernah mengucapkan kata males dan capek karena bisa-bisa suami anda nyari lawan tempur diluar kecuali anda sakit dan melahirkan.
pecahkan komplik dalam rumah tangga anda secara bersama2-sama dengan suami bukan dengan temen atau tetangga selesaikan secara dingin.

Riwayat Hidup Al-Hasan dan Al-Husain


Bismillahir Rahmanir Rahiim


Beliau dilahirkan pada bulan Ramadhan tahun ke-3 Hijriyah menurut kebanyakan para
ulama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar. (lihat Fathul Bari juz VII, hal. 464)
Setelah ayah beliau Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu terbunuh, sebagian kaum
muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali. Berkata Syaikh
Muhibbudin al-Khatib bahwa diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya juz
ke-1 hal. 130 -setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan terbunuh- mereka
berkata kepadanya: “Tentukanlah penggantimu bagi kami.” Maka beliau menjawab:
“Tidak, tetapi aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam….”
Dan disebutkan oleh beliau (Muhibuddin Al-Khatib) beberapa hadits dalam masalah ini.
(Lihat Ta’liq kitab Al-‘Awashim Minal Qawashim, Ibnul Arabi, hal. 198-199). Tetapi
setelah itu Al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyah untuk mencegah
pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab As-Shulh dari Imam AlHasan Al-Bashri, dia berkata: -Demi Allah- Al-Hasan bin Ali telah menghadap
Mu’awiyah beserta beberapa kelompok pasukan berkuda ibarat gunung, maka
berkatalah ‘Amr bin ‘Ash: “Sungguh aku berpendapat bahwa pasukan-pasukan tersebut
tidak akan berpaling melainkan setelah membunuh pasukan yang sebanding
dengannya”. Berkata kepadanya Mu’awiyah -dan dia demi Allah yang terbaik di antara
dua orang-: “Wahai ‘Amr! Jika mereka saling membunuh, maka siapa yang akan
memegang urusan manusia? Siapa yang akan menjaga wanita-wanita mereka? Dan
siapa yang akan menguasai tanah mereka?”
Maka ia mengutus kepadanya (Al-Hasan) dua orang utusan dari Quraisy dari Bani
‘Abdi Syams Abdullah bin Samurah dan Abdullah bin Amirbin Kuraiz, ia berkata:
“Pergilah kalian berdua kepada orang tersebut! Bujuklah dan ucapkan kepadanya serta
mintalah kepadanya (perdamaian -peny.)” Maka keduanya mendatanginya, berbicara
dengannya dan memohon padanya…) kemudian di akhir hadits Al-Hasan bin Ali
meriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam di atas mimbar dan Hasan bin Ali di sampingnya beliau sesaat menghadap
kepada manusia dan sesaat melihat kepadanya seraya berkata:
إِ نﱠ اﺑْﻨِﻰ هَﺬَا ﺳَﻴﱢﺪٌ، وَ ﻟَ ﻌَ ﻞﱠ ا ﷲَ أَ نْ
ﻳُ ﺼْ ﻠِ ﺢَ ﺑِ ﻪِ ﺑَ ﻴْ ﻦَ ﻓِ ﺌَ ﺘَ ﻴْ ﻦِ ﻋَ ﻈِ ﻴْ ﻤَ ﺘَ ﻴْ ﻦِ ﻣِ ﻦَ
ا ﻟْ ﻤُ ﺴْ ﻠِ ﻤِ ﻴْ ﻦَ. (رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى ﻣﻊ اﻟﻔﺘﺢ
۷/٦٤۷ رﻗﻢ
٢۷٠٤)
Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid, semoga Allah akan mendamaikan dengannya
antara dua kelompok besar dari kalangan kaum muslimin. (HR. Bukhari dengan Fathul
Bari, juz V, hal. 647, hadits no. 2704) 4
Berkata Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah: “….Al-Husein menyalahkan saudaranya AlHasan atas pendapat ini, tetapi beliau tidak mau menerimanya. Dan kebenaran ada pada
Al-Hasan sebagaimana dalil yang akan datang….” (lihat AlBidayah wan Nihayah, juz
VIII hal. 17). Yang dimaksud oleh beliau adalah dalil yang sudah kita sebutkan di atas
yang diriwayatkan dari Abi Bakrah radhiyallahu ‘anhu.
Itulah keutamaan Al-Hasan yang paling besar yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka bersatulah kaum muslimin hingga tahun tersebut terkenal
dengan tahun jama’ah.
Yang mengherankan justru kaum Syi’ah Rafidlah menyesali kejadian ini dan
menjuluki Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu sebagai ‘pencoreng wajah- wajah kaum
mukminin’. Sebagian mereka menganggapnya fasik sedangkan sebagian lagi bahkan
mengkafirkannya karena hal itu. Berkata Syaikh Muhibbudin Al-Khatib mengomentari
ucapan Rafidlah ini sebagai berikut: “Padahal termasuk dari dasar-dasar keimanan
Rafidlah -bahkan dasar keimanan yang paling utama- adalah keyakinan mereka bahwa
Al-Hasan, ayah, saudara dan sembilan keturunannya adalah maksum. Dan dari
konsekwensi kemaksuman mereka, bahwa mereka tidak akan berbuat kesalahan. Dan
setiap apa yang bersumber dari mereka berarti hak yang tidak akan terbatalkan.
Sedangkan apa yang bersumber dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma yang paling
besar adalah pembai’atan terhadap amiril mukminin Mu’awiyah, maka mestinya mereka
pun masuk dalam bai’at ini dan beriman bahwa ini adalah hak karena ini adalah amalan
seorang yang maksum menurut mereka. (Lihat catatan kaki kitab Al- Awashim minal
Qawashim hal. 197-198). Tetapi kenyataannya mereka menyelisihi imam mereka
sendiri yang maksum bahkan menyalahkannya, menfasikkannya, atau mengkafirkannya.
Sehingga terdapat dua kemungkinan:
Pertama, mereka berdusta atas ucapan mereka tentang kemaksuman dua belas imam,
maka hancurlah agama mereka (agama Itsna ‘Asyariyyah).
Kedua, mereka meyakini kemaksuman Al-Hasan, maka mereka adalah para pengkhianat
yang menyelisihi imam yang maksum dengan permusuhan dan kesombongan serta
kekufuran. Dan tidak ada kemungkinan yang ketiga.
Adapun Ahlus Sunnah yang beriman dengan kenabian “kakek Al-Hasan” shallallahu
‘alaihi wa sallam berpendapat bahwa perdamaian dan bai’at beliau kepada Mu’awiyah
radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu bukti kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan amal terbesar Al-Hasan serta mereka bergembira dengannya kemudian
menganggap AlHasan yang memutihkan wajah kaum mukminin.
Demikianlah khilafah Mu’awiyah berlangsung dengan persatuan kaum muslimin karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebab pengorbanan Al-Hasan bin Ali radhiyallahu
‘anhu yang besar yang dia -demi Allah-lebih berhak terhadap khilafah daripada
Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar Ibnul Arabi
dan para ulama. Semoga Allah meridlai seluruh para shahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. 5
Pada tahun ke 10 masa khilafah Mu’awiyah meninggallah Al-Hasan radhiyallahu `anhu
pada umur 47 tahun. Dan ini yang dianggap shahih oleh Ibnu Katsir, sedangkan yang
masyhur adalah 49 tahun. Wallahu A’lam bish-Shawab. Ketika beliau diperiksa oleh
dokter, maka dia mengatakan bahwa Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu meninggal karena
racun yang memutuskan ususnya. Namun tidak diketahui dalam sejarah siapa yang
membunuhnya.
Adapun ucapan Rafidlah yang menuduh pihak Mu’awiyah sebagai pembunuhnya sama
sekali tidak dapat diterima sebagaimana dikatakan oleh Ibnul ‘Arabi dengan ucapannya:
“Kami mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin karena dua hal: pertama, bahwa dia
(Mu’awiyah) sama sekali tidak mengkhawatirkan kejelekan apapun dari Al-Hasan
karena beliau telahmenyerahkan urusannya kepada Mu’awiyah. Yang kedua, hal ini
adalah perkara ghaib yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, maka
bagaimana mungkin menuduhkannya kepada salah seorang makhluk-Nya tanpa bukti
pada zaman yang berjauhan yang kita tidak dapat mudah percaya dengan nukilan
seorang penukil dari kalangan pengikut hawa nafsu (Syi’ ah). Dalam keadaan fitnah dan
Ashabiyyah, setiap orang akan menuduh lawannya dengan tuduhan yang tidak
semestinya, makatidak mungkin diterima kecuali dari seorang yang bersih dan tidak
didengar darinya kecuali keadilan.” (Lihat Al-washim minal Qawashim hal. 213-214)
Demikian pula dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa tuduhan Syi’ah
tersebut tidak benar dan tidak didatangkan dengan bukti syar’i serta tidak pula ada
persaksian yang dapat diterima dan tidak ada pula penukilan yang tegas tentangnya.
(Lihat Minhajus
Sunnah juz 2 hal. 225)
Semoga Allah merahmati Al-Hasan bin Ali dan meridlainya dan melipatgandakan
pahala amal dan jasa-jasanya. Dan semoga Allah menerimanya sebagai syahid. Amiin.
Riwayat Hidup Al-Husein dan Peristiwa Pembunuhannya
Beliau dilahirkan pada bulan Sya’ban tahun ke-empat Hijriyah. Diriwayatkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mentahnik (yakni mengunyahkan kurma
kemudian dimasukkan ke mulut bayi dengan digosokkan ke langit-langitnya -pent.),
mendoakan dan menamakannya Al-Husein. Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Katsir
dalam Al-Bidayah wan Nihayah, juz VIII, hal. 152.
Berkata Ibnul Arabi dalam kitabnya Al-Awashim minal Qawashim: “Disebutkan oleh
ahli tarikh bahwa surat-surat berdatangan dari ahli kufah kepada Al-Husein (setelah
meninggalnya Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu). Kemudian Al-Husein mengirim Muslim
Ibnu Aqil, anak pamannya kepada mereka untuk membai’at mereka dan melihat
bagaimana keikutsertaan mereka. Maka Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu memberitahu
beliau (Al-Husein) bahwa mereka dahulu pernah mengkhianati bapak dan saudaranya.
Sedangkan Ibnu Zubair mengisyaratkan kepadanya agar dia berangkat, maka
berangkatlah Al- Husein. Sebelum sampai beliau di Kufah ternyata Muslim Ibnu Aqil
telah terbunuh dan diserahkan kepadanya oleh orang-orang yang memanggilnya. 6
“Cukup bagimu ini sebagai peringatan bagi yang mau mengambil peringatan”
(kelihatannya yang dimaksud adalah ucapan Ibnu Abbas kepada Al-Husein -pent.).
Tetapi beliau radhiyallahu ‘anhu tetap melanjutkan perjalanannya dengan marah karena
dien dalam rangka menegakkan al-haq. Bahkan beliau tidak mendengarkan nasehat
orang yang paling alim pada jamannya yaitu ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan
menyalahi pendapat syaikh para shahabat yaitu Ibnu Umar. Beliau mengharapkan
permulaan pada akhir (hidup -pent.), mengharapkan kelurusan dalam kebengkokan dan
mengharapkan keelokan pemuda dalam rapuh ketuaan.
Tidak ada yang sepertinya di sekitarnya, tidak pula memiliki pembela-pembela yang
memelihara haknya atau yang bersedia mengorbankan dirinya untuk membelanya.
Akhirnya kita ingin mensucikan bumi dari khamr Yazid, tetapi kita tumpahkan darah
Al-Husein, maka datang
kepada kita musibah yang menghilangkan kebahagiaan jaman. (lihat Al-Awashim minal
Qawashim oleh Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dengan tahqiq dan ta’liq Syaikh Muhibbuddin
Al-Khatib, hal. 229-232)
Yang dimaksud oleh beliau dengan ucapannya ‘Kita ingin mensucikan bumi dari khamr
Yazid, tetapi kita tumpahkan darah Al-Husein’ adalah bahwa niat Al-Husein dengan
sebagian kaum muslimin untuk mensucikan bumi dari khamr Yazid yang hal ini masih
merupakan tuduhan-tuduhan dan tanpa bukti, tetapi hasilnya justru kita menodai bumi
dengan darah Al-Husein yang suci. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhibbudin AlKhatib dalam ta’liq-nya terhadap buku Al-Awashim Minal Qawashim.
Ketika Al-Husein ditahan oleh tentara Yazid, Samardi Al-Jausyan mendorong Abdullah
bin Ziyad untuk membunuhnya. Sedangkan Al-Husein meminta untuk dihadapkan
kepada Yazid atau dibawa ke front untuk berjihad melawan orang-orang kafir atau
kembali ke Mekah. Namun mereka tetap membunuh Al-Husein dengan dhalim sehingga
beliau meninggal dengan syahid radhiyallahu ‘anhu. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Al-Husein terbunuh di Karbala di dekat Eufrat
dan jasadnya dikubur di tempat terbunuhnya, sedangkan kepalanya dikirim ke hadapan
Ubaidillah bin Ziyad di Kufah. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam
Shahihnya dan dari
para imam yang lain.
Adapun tentang dibawanya kepala beliau kepada Yazid telah diriwayatkan dalam
beberapa jalan yang munqathi’ (terputus) dan tidak benar sedikitpun tentangnya.
Bahkan dalam riwayat-riwayat tampak sesuatu yang menunjukkan kedustaan dan
pengada-adaan riwayat tersebut.
Disebutkan padanya bahwa Yazid menusuk gigi taringnya dengan besi dan bahwasanya
sebagian para shahabat yang hadir seperti Anas bin Malik, Abi Barzah dan lain-lain
mengingkarinya. Hal ini adalah pengkaburan, karena sesungguhnya yang menusuk
dengan besi adalah ‘Ubaidilah bin Ziyad. Demikian pula dalam kitab-kitab shahih dan
musnad, bahwasanya mereka menempatkan Yazid di tempat ‘Ubaidilah bin Ziyad.
Adapun ‘Ubaidillah, tidak diragukan lagi bahwa dialah yang memerintahkan untuk 7
membunuhnya (Husein) dan memerintahkan untuk membawa kepalanya ke hadapan
dirinya. Dan akhirnya Ibnu Ziyad pun dibunuh karena itu.
Dan lebih jelas lagi bahwasanya para shahabat yang tersebut tadi seperti Anas dan Abi
Barzah tidak berada di Syam, melainkan berada di Iraq ketika itu. Sesungguhnya para
pendusta adalah orang-orang jahil (bodoh), tidak mengerti apa-apa yang menunjukkan
kedustaan mereka.” (Majmu’ Fatawa, juz IV, hal. 507-508)
Adapun yang dirajihkan oleh para ulama tentang kepala Al-Husein bin Ali radhiyallahu
‘anhuma adalah sebagaimana yang disebutkan oleh az- Zubair bin Bukar dalam kitabnya
Ansab Quraisy dan beliau adalah seorang yang paling ‘alim dan paling tsiqah dalam
masalah ini (tentang keturunan Quraisy). Dia menyebutkan bahwa kepala Al-Husein
dibawa ke Madinah An-Nabawiyah dan dikuburkan di sana. Hal ini yang paling cocok,
karena di sana ada kuburan saudaranya Al-Hasan, paman ayahnya Al-Abbas dan anak
Ali dan yang seperti mereka. (Dalam sumber yang sama, juz IV, hal. 509)
Demikianlah Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma terbunuh pada hari Jum’at, pada
hari ‘Asyura, yaitu pada bulan Muharram tahun 61 H dalam usia 54 tahun 6 bulan.
Semoga Allah merahmati Al-Husein dan mengampuni seluruh dosadosanya serta
menerimanya sebagai syahid.
Dan semoga Allah membalas para pembunuhnya dan mengadzab mereka dengan adzab
yang pedih. Amin.
Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Yazid bin Mu’awiyyah
Untuk membahas masalah ini kita nukilkan saja di sini ucapan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah secara lengkap dari Fatawa-nya sebagai berikut:
Belum terjadi sebelumnya manusia membicarakan masalah Yazid bin Muawiyyah dan
tidak pula membicarakannya termasuk masalah Dien. Hingga terjadilah setelah itu
beberapa perkara, sehingga manusia melaknat terhadap Yazid bin Muawiyyah, bahkan
bisa jadi mereka menginginkan dengan itu laknat kepada yang lainnya. Sedangkan
kebanyakan Ahlus Sunnah tidak suka melaknat orang tertentu. Kemudian suatu kaum
dari golongan yang ikut mendengar yang demikian meyakini bahwa Yazid termasuk
orang-orang shalih yang besar dan Imam-imam yang mendapat petunjuk.
Maka golongan yang melampaui batas terhadap Yazid menjadi dua sisi yang
berlawanan:
Sisi pertama, mereka yang mengucapkan bahwa dia kafir zindiq dan bahwasanya dia
telah membunuh salah seorang anak perempuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
membunuh shahabat-shahabat Anshar, dan anak-anak mereka pada kejadian Al-Hurrah
(pembebasan Madinah) untuk menebus dendam keluarganya yang dibunuh dalam
keadaan kafir seperti kakek ibunya ‘Utbah bin Rab’iah, pamannya Al-Walid dan selain
keduanya. Dan mereka menyebutkan pula bahwa dia terkenal dengan peminum khamr
dan menampakkan maksiat-maksiatnya. 8
Pada sisi lain, ada yang meyakini bahwa dia (Yazid) adalah imam yang adil,
mendapatkan petunjuk dan memberi petunjuk. Dan dia dari kalangan shahabat atau
pembesar shahabat serta salah seorang dari wali-wali Allah. Bahkan sebagian dari
mereka meyakini bahwa dia dari kalangan para nabi. Mereka mengucapkan bahwa
barangsiapa tidak berpendapat terhadap Yazid maka Allah akan menghentikan dia
dalam neraka Jahannam. Mereka meriwayatkan dari Syaikh Hasan bin ‘Adi bahwa dia
adalah wali yang seperti ini dan seperti itu.
Barangsiapa yang berhenti (tidak mau mengatakan demikian), maka dia berhenti dalam
neraka karena ucapan mereka yang demikian terhadap Yazid. Setelahzaman Syaikh
Hasan bertambahlah perkara-perkara batil dalam bentuk syair atau prosa. Mereka
ghuluw kepada Syaikh Hasan dan Yazid dengan perkara-perkara yang menyelisihi apa
yang ada di atasnya Syaikh ‘Adi yang agung -semoga Allah mensucikan ruhnya-. Karena
jalan beliau sebelumnya adalah baik, belum terdapat bid’ah-bid’ah yang seperti itu,
kemudian mereka mendapatkan bencana dari pihak Rafidlah yang memusuhi mereka
dan kemudian membunuh Syaikh Hasan bin ‘Adi sehingga terjadilah fitnah yang tidak
disukai Allah dan Rasul-Nya.
Dua sisi ekstrim terhadap Yazid tersebut menyelishi apa yang disepakati oleh para
ulama dan Ahlul Iman. Karena sesungguhnya Yazid bin Muawiyyah dilahirkan pada
masa khalifah Utsman bin ‘Affan radliallahu ‘anhu dan tidak pernah bertemu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tidak pula termasuk shahabat dengan kesepakatan para
ulama. Dia tidak pula terkenal dalam masalah Dien dan keshalihan.
Dia termasuk kalangan pemuda-pemuda muslim bukan kafir dan bukan pula zindiq. Dia
memegang kekuasaan setelah ayahnya dengan tidak disukai oleh sebagian kaum
muslimin dan diridlai oleh sebagian yang lain. Dia memiliki keberanian dan
kedermawanan dan tidak pernah menampakkan kemaksiatan-kemaksiatan sebagaimana
dikisahkan oleh musuh-musuhnya.
Namun pada masa pemerintahannya telah terjadi perkara-perkara besar yaitu:
1. Terbunuhnya Al-Husein radhiyallahu ‘anhu sedangkan Yazid tidak memerintahkan
untuk membunuhnya dan tidak pula menampakkan kegembiraan dengan pembunuhan
Husein serta tidak memukul gigi taringnya dengan besi. Dia juga tidak membawa
kepala Husein ke Syam. Dia memerintahkan untuk melarang Husein dengan
melepaskannya dari urusan walaupun dengan memeranginya. Tetapi para utusannya
melebihi dari apa yang diperintahkannya tatkala Samardi Al-Jausyan mendorong
‘Ubaidillah bin Ziyad untuk membunuhnya.Ibnu Ziyad pun menyakitinya dan ketika AlHusein radhiyallahu ‘anhu meminta agar dia dibawa menghadap Yazid, atau diajak ke
front untuk berjihad (memerangi orang-orang kafir bersama tentara Yazid -pent), atau
kembali ke Mekkah, mereka menolaknya dan tetap menawannya.
Atas perintah Umar bin Sa’d, maka mereka membunuh beliau dan sekelompok Ahlul
Bait radhiyallahu ‘anhum dengan dhalim. Terbunuhnya beliau radhiyallahu ‘anhu
termasuk musibah besar, karena sesungguhnyaterbunuhnya Al-Husein -dan ‘Utsman
bin ‘Affan sebelumnya- adalah penyebab fitnah terbesar pada umat ini. Demikian juga
pembunuh keduanya adalah makhluk yang paling jelek di sisi Allah. Ketika keluarga 9
beliau radhiyallahu ‘anhu mendatangi Yazid bin Mua’wiyah, Yazid memuliakan mereka
dan mengantarkan mereka ke Madinah.
Diriwayatkan bahwa Yazid melaknat Ibnu Ziyad atas pembunuhan Husein dan berkata:
“Aku sebenarnya meridlai ketaatan penduduk Irak tanpa pembunuhan Husein.” Tetapi
dia tidak menampakkan pengingkaran terhadap pembunuhnya, tidak membela serta
tidak pula membalasnya, padahal itu adalah wajib bagi dia. Maka akhirnya Ahlul Haq
mencelanya karena meninggalkan kewajibannya, ditambah lagi dengan perkara-perkara
yang lain. Sedangkan musuh-musuh mereka menambahkan kedustaan-kedustaan
atasnya.
2. Ahlil Madinah membatalkan bai’atnya kepada Yazid dan mereka mengeluarkan
utusan-utusan dan penduduknya. Yazid pun mengirimkan tentara kepada mereka,
memerintahkan mereka untuk taat dan jika mereka tidak mentaatinya setelah tiga hari
mereka akan memasuki Madinah dengan pedang dan menghalalkan darah mereka.
Setelah tiga hari, tentara Yazid memasuki Madinah an-Nabawiyah, membunuh mereka,
merampas harta mereka, bahkan menodai kehormatan-kehormatan wanita yang suci,
kemudian mengirimkan tentaranya ke Mekkah yang mulia dan mengepungnya. Yazid
meninggal dunia pada saat pasukannya dalam keadaan mengepung Mekkah dan hal ini
merupakan permusuhan dan kedzaliman yang dikerjakan atas perintahnya.
Oleh karena itu, keyakinan Ahlus Sunnah dan para imam-imam umat ini adalah mereka
tidak melaknat dan tidak mencintainya. Shalih bin Ahmad bin Hanbal berkata: Aku
katakan kepada ayahku: “Sesungguhnya suatu kaum mengatakan bahwa mereka cinta
kepada Yazid.” Maka beliau rahimahullah menjawab: “Wahai anakku, apakah akan
mencintai Yazid seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir?” Aku bertanya:
“Wahai ayahku, mengapa engkau tidak melaknatnya?” Beliau menjawab: “Wahai
anakku, kapan engkau melihat ayahmu melaknat seseorang?” Diriwayatkan pula bahwa
ditanyakan kepadanya: “Apakah engkau menulis hadits dari Yazid bin Mu’awiyyah?”
Dia berkata: “Tidak, dan tidak ada kemulyaan, bukankah dia yang telah melakukan
terhadap ahlul Madinah apa yang dia lakukan?”
Yazid menurut ulama dan Imam-imam kaum muslimin adalah raja dari raja-raja (Islam
-pent). Mereka tidak mencintainya seperti mencintai orang-orang shalih dan wali-wali
Allah dan tidak pula melaknatnya. Karena sesungguhnya mereka tidak suka melaknat
seorang muslim secara khusus (ta ‘yin), berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh
Bukhari dalam Shahih-nya dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu: Bahwa
seseorang yang dipanggil dengan Hammar sering minum khamr. Acap kali dia
didatangkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dicambuknya. Maka
berkatalah seseorang: “Semoga Allah melaknatnya. Betapa sering dia didatangkan
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Jangan engkau melaknatnya, sesungguhnya dia mencintai Allah dan RasulNya. ” (HR. Bukhari)
Walaupun demikian di kalangan Ahlus Sunnah juga ada yang membolehkan laknat
terhadapnya karena mereka meyakini bahwa Yazid telah melakukan kedhaliman yang
menyebabkan laknat bagi pelakunya. 10
Kelompok yang lain berpendapat untuk mencintainya karena dia seorang muslim yang
memegang pemerintahan di zaman para shahabat dan dibai’at oleh mereka. Serta
mereka berkata: “Tidak benar apa yang dinukil tentangnya padahal dia memiliki
kebaikan-kebaikan,atau dia melakukannya dengan ijtihad.”
Pendapat yang benar adalah apa yang dikatakan oleh para imam (Ahlus Sunnah), bahwa
mereka tidak mengkhususkan kecintaan kepadanya dan tidak pula melaknatnya. Di
samping itu kalaupun dia sebagai orang yang fasiq atau dhalim, Allah masih mungkin
mengampuni orang fasiq dan dhalim. Lebih-lebih lagi kalau dia memiliki kebaikankebaikan yang besar.
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dari Ummu Harran binti Malhan
radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَ أَ وﱠ لُ ﺟَ ﻴْ ﺶٍ ﻣِ ﻦْ أُﻣﱠﺘِﻰ ﻳَ ﻐْ ﺰُ وْ نَ…
(ﻣَ ﺪِ ﻳْ ﻨَ ﺔَ ﻗَ ﻴْ ﺼَ ﺮَ ﻣَ ﻐْ ﻔُ ﻮْ رٌ ﻟَ ﻬُ ﻢْ. (رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى
Tentara pertama yang memerangi Konstantiniyyah akan diampuni. (HR. Bukhari)
Padahal tentara pertama yang memeranginya adalah di bawah pimpinan Yazid bin
Mu’awiyyah dan pada waktu itu Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bersamanya.
Catatan:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah melanjutkan setelah itu dengan ucapannya: “Kadangkadang sering tertukar antara Yazid bin Mu’ awiyah dengan pamannya Yazid bin Abu
Sufyan. Padahal sesungguhnya Yazid bin Abu Sufyan adalah dari kalangan Shahabat,
bahkan orang-orang pilihan di antara mereka dan dialah keluarga Harb (ayah Abu
Sufyan bin Harb -pent) yang terbaik. Dan beliau adalah salah seorang pemimpin Syam
yang diutus oleh Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu ketika pembebasan negeri
Syam. Abu Bakar ash- Shiddiq pernah berjalan bersamanya ketika mengantarkannya,
sedangkan dia berada di atas kendaraan. Maka berkatalah Yazid bin Abu Sufyan:
“Wahai khalifah Rasulullah, naiklah! (ke atas kendaraan) atau aku yang akan turun.”
Maka berkatalah Abu Bakar: “Aku tidak akan naik dan engkau jangan turun,
sesungguhnya aku mengharapkan hisab dengan langkah-langkahku ini di jalan Allah.
Ketika beliau wafat setelah pembukaan negeri Syam di zaman pemerintahan Umar
radhiyallahu ‘anhu, beliau mengangkat saudaranya yaitu Mu’awiyah untuk
menggantikan kedudukannya.
Kemudian Mu’awiyah mempunyai anak yang bernama Yazid di zaman pemerintahan
‘Utsman ibnu ‘Affan dan dia tetap di Syam sampai terjadi peristiwa yang terjadi. Yang
wajib adalah untuk meringkas yang demikian dan berpaling dari membi-carakan Yazid
bin Mu’awiyah serta bencana yang menimpa kaum muslimin karenanya dan
sesungguhnya yang demikian merupakan bid’ah yang menyelisihi ahlus sunnah wal
jama’ah. Karena dengan sebab itu sebagian orang bodoh meyakini bahwa Yazid bin
Mu`awiyah termasuk kalangan shahabat dan bahwasanya dia termasuk kalangan
tokoh-tokoh orang shalih yang besar atau imam-imam yang adil. Hal ini adalah 11
kesalahan yang nyata.” (Diambil dari Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
jilid 3, hal. 409-414)
Bid’ah-bid’ah yang Berhubungan dengan
Terbunuhnya Al-Husein
Kemudian muncullah bid’ah-bid’ah yang banyak yang diadakan oleh kebanyakan orangorang terakhir berkenaan dengan perisiwa terbunuhnya Al-Husein, tempatnya,
waktunya dan lain-lain. Mulailah mereka mengada-adakan An-Niyaahah (ratapan) pada
hari terbunuhnya Al-Husein yaitu pada hari ‘Asyura (10 Muharram), penyiksaan diri,
mendhalimi binatang-binatang ternak, mencaci maki para wali Allah (para shahabat)
dan mengada-adakan kedustaan-kedustaan yang diatasnamakan ahlul bait serta
kemungkaran-kemungkaran yang jelas dilarang dalam kitab Allah dan sunnah RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.
Al-Husein radhiyallahu ‘anhu telah dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan
mati syahid pada hari ‘Asyura dan Allah telah menghinakan pembunuhnya serta orang
yang mendukungnya atau ridla dengan pembunuhannya. Dan dia mempunyai teladan
pada orang sebelumnya dari para syuhada, karena sesungguhnya dia dan saudaranya
adalah penghulu para pemuda ahlul jannah. Keduanya telah dibesarkan pada masa
kejayaan Islam dan tidak mendapatkan hijrah, jihad, dan kesabaran atas gangguangangguan di jalan Allah sebagaimana apa yang telah didapati oleh ahlul bait
sebelumnya. Maka Allah mulyakan keduanya dengan syahid untuk menyempurnakan
kemulyaan dan mengangkat derajat keduanya.
Pembunuhan beliau merupakan musibah besar dan Allah subhanahu wa ta’ala telah
mensyari’atkan untuk mengucapkan istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) ketika
musibah dalam ucapannya:
وَ ﺑَ ﺸﱢ ﺮِ اﻟﺼﱠﺎﺑِﺮِﻳﻦَ ا ﻟﱠ ﺬِ ﻳ ﻦَ إِذَا…
أَ ﺻَ ﺎ ﺑَ ﺘْ ﻬُ ﻢْ ﻣُﺼِﻴﺒَﺔٌ ﻗَﺎﻟُﻮا إِﻧﱠﺎ ﻟِ ﻠﱠ ﻪِ
وَإِﻧﱠﺎ إِ ﻟَ ﻴْ ﻪِ رَ ا ﺟِ ﻌُ ﻮ نَ أُ و ﻟَ ﺌِ ﻚَ ﻋَ ﻠَ ﻴْ ﻬِ ﻢْ
ﺻَ ﻠَ ﻮَ ا تٌ ﻣِ ﻦْ رَ ﺑﱢ ﻬِ ﻢْ وَ رَ ﺣْ ﻤَ ﺔٌ وَ أُ و ﻟَ ﺌِ ﻚَ هُ ﻢُ
.اﻟْﻤُﻬْﺘَﺪُونَ
…. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orangyang sabar, (yaitu) orang-orang
yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi
raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat
dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al- Baqarah:
155-157)
Sedangkan mereka yang mengerjakan apa-apa yang dilarang oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam rangka meratapinya seperti memukul pipi, merobek baju, dan
menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah, maka balasannya sangat keras sebagaimana
diriwayatkan dalam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, berkata:
Bersabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: 12
ﻟَ ﻴْ ﺲَ ﻣِﻨﱠﺎ ﻣَ ﻦْ ﻟَ ﻄَ ﻢَ اﻟْﺨُﺪُوْدَ، وَ ﺷَ ﻖﱠ
اﻟْﺠُﻴُﻮْبَ، وَدَﻋَﺎ ﺑِﺪَﻋْﻮَى ا ﻟْ ﺠَ ﺎ هِ ﻠِ ﻴﱠ ﺔِ. (رواﻩ
(اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ
Bukan dari golongan kami, siapa yang memukul-mukul pipi, merobek- robek baju, dan
menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain, juga dalam Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al- Asy’ari
radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia berkata: “Aku berlepas diri dari orang-orang yang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya, yaitu bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari al-haliqah, ash-shaliqah dan
asy-syaaqqah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dalam Shahih Muslim dari Abi Malik Al-Asy’ari bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
أَ رْ ﺑَ ﻊٌ ﻓِﻰ أُﻣﱠﺘِﻰ ﻣِ ﻦْ أَ ﻣْ ﺮِ ا ﻟْ ﺠَ ﺎ هِ ﻠِ ﻴﱠ ﺔِ ﻻَ
ﻳَ ﺘْ ﺮُ آُ ﻮْ ﻧَ ﻬُ ﻦﱠ: ا ﻟْ ﻔَ ﺨْ ﺮُ ﻓِﻰ اْﻷَﺣْﺴَﺎبِ
وَ ا ﻟ ﻄﱠ ﻌْ ﻦُ ﻓِﻰ اْ ﻷَﻧْﺴَﺎبِ وَاْﻹِﺳْﺘِﺴْﻘَﺎءُ
(ﺑِ ﺎ ﻟ ﻨُ ﺠُ ﻮْ مِ وَاﻟﻨﱢﻴَﺎﺣَﺔُ. (رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ
Empat perkara yang terdapat pada umatku dari perkara perkara jahiliyah yang mereka
tidak meninggalkannya: bangga dengan kedudukan, mencela nasab (keturunan),
mengharapkan hujan dengan bintang-bintang dan meratapi mayit. (HR. Muslim)
Dan juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَ إِ نﱠ ا ﻟ ﻨﱠ ﺎ ﺋِ ﺤَ ﺔَ إِذَا ﻟَ ﻢْ ﺗَ ﺘُ ﺐْ ﻗَ ﺒْ ﻞَ…
ا ﻟْ ﻤَ ﻮْ تِ ﺟَ ﺎ ﺋَ ﺖْ ﻳَ ﻮْ مَ ا ﻟْ ﻘِ ﻴَ ﺎ ﻣَ ﺔِ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ
ﺳِ ﺮْ ﺑَ ﺎ لٌ ﻣِ ﻦْ ﻗَ ﻄِ ﺮَ ا نِ ، وَ دَ رْ عٌ ﻣِ ﻦْ ﻟَ ﻬَ ﺐِ
(ا ﻟ ﻨﱠﺎ رِ. (ﺻﺤﻴﺢ رواﻩ أﺣﻤﺪ واﻟﻄﺒﺮاﻧﻰ واﻟﺤﺎآﻢ
Sesungguhnya perempuan tukang ratap jika tidak bertaubat sebelum matinya dia akan
dibangkitkan di hari kiamat sedangkan atasnya pakaian dari timah dan pakaian dada
dari nyala api neraka. (HR. Ahmad, Thabrani dan Hakim)
Hadits-hadits tentang masalah ini bermacam-macam. Demikianlah keadaan orang yang
meratapi mayit dengan memukul-mukul badannya, merobek-robek bajunya dan lainlain. Maka bagaimana jika ditambah lagi bersama dengan itu kezaliman terhadap
orang-orang mukmin (para shahabat), melaknat mereka, mencela mereka, serta
sebaliknya membantu ahlu syiqaq orang-orang munafiq dan ahlul bid’ah dalam
kerusakan dien yang mereka tuju serta kemungkaran lain yang Allah lebih
mengetahuinya. 13
Maraji’:
– Minhajus-Sunnah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
– Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
– Al-‘Awashim Minal Qawashim, oleh Qadhi Abu Bakar
– Ibnul Arabi dengan tahqiq dan ta’liq Syaikh Muhibbudin Al-Khatib.
– Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir.
– Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
– Shahih Muslim dengan Syarh Nawawi.
– Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-
Albani.
[Sumber: Majalah SALAFY edisi VIII/Rabi’ul Awal/1417/1996 Penulis Ustadz
Muhammad Umar Sewed]

DOA IFTITAH


HR.Al-Bukhari 1-181 dan Muslim 1-419
“Ya Allah, jauhkan lah antara aku dan kesalahan-kesalahanku,sebagaimana engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dan kesalahan- kesalahanku, sebagaimana baju putih di bersihkan dari kotoran. Ya Allah cucikanlah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan es. (HR. Al-Bukhari 1/181 dan Muslim 1/419).

 

HR.Abu Dawud,At-Tirmidzi,Ibn Majah dan An Nasa’i
“Maha Suci Engkau Ya, Allah, aku memuji-Mu, Maha Berkah akan nama-Mu, Maha Tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, Tiada Tuhan yang berhak di sembah selain Engkau”
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibn Majah dan An Nasa’i).
HR.Muslim 1-534

“Aku menghadap kepada Tuhan pencipta langit dan bumi, dengan memegang agama yang lurus dan aku tidak tergolong orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, dan kehidupan serta matiku adalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan karena itu, aku di perintah dan aku termasuk orang muslim. Ya Allah Engkau adalah Raja, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menganiaya diriku, aku mengakui dosaku. Oleh karena itu ampunilah seluruh dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Tunjukkanlah aku pada akhlak yang terbaik, tidak akan menunjukkan kepadanya kecuali Engkau. Hindarkan aku dari akhlak yang jahat, tidak ada yang bisa menjauhkan aku daripadanya, kecuali Engkau. Aku penuhi panggilan-Mu. Aku hidup dengan pertolongan dan rahmat-Mu dan kepada-Mu (aku kembali). Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi. Aku minta ampun dan bertobat kepada-Mu” (HR. Muslim 1/534)

HR.Muslim 1-434

“Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail dan Isrofil. Wahai pencipta langit dan bumi. Wahai Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum apa yang mereka (Yahudi dan Nasrani) pertentangkan. Tunjukkan aku pada kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizin-Mu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki”. (HR. Muslim 1/434)

HR.Abu-Dawud 1-203 Ibn-Majah 1-265 Ahmad 4-85 dan Muslim dengan kata-kata yang sama 1-420

“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak.” (Dibaca 3x)
“Aku berlindung kepada Allah dari tiupan, bisikan, dan godaan syaitan”.
(HR. Abu Dawud 1/203, Ibn Majah 1/265, Ahmad 4/85 dan Muslim dengan kata-kata yang sama 1/420)

Apabila Nabi Muhammad SAW, sholat Tahajud maka beliau membaca :
hr.bukhari dan muslim 1-432

“Ya Allah, Bagi-Mu segala puji, engkau cahaya langit dan bumi serta apa yang didalamnya. Bagi-Mu segala puji, Engkau yang mengurusi langit dan bumi serta apa yang didalamnya. Bagi-Mu segala puji, Engkau yang menguasai langit dan bumi serta apa yang didalamnya. Bagi-Mu segala puji, dan bagi-Mu kerajaan langit dan bumi serta apa yang didalamnya. Bagi-Mu segala puji, Engkau benar, janji-Mu benar, firman-Mu benar, bertemu dengan-Mu benar, surga adalah benar, neraka adalah benar, para nabi adalah benar, Muhammad adalah benar, kejadian hari kiamat adalah benar. Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku bertawakkal, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku kembali, dengan pertolongan-Mu aku berdebat, kepada-Mu aku dijatuhkan hokum. Oleh karena itu, ampunilah dosaku yang telah lewat dan yang akan dating. Engkaulah yang terdahulu dan terakhir, tiada Tuhan kecuali Engkau, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan kecuali Engkau” (HR. Bukhari dan Muslim 1/432).

Tangisan Rasulullah Menggoncangkan Arsy


Bismillahir Rahmanir Rahiim

Dikisahkan, pada waktu Rasulullah s.a.w. sedang bertawaf di Ka’bah, beliau mendengar seseorang di hadapannya bertawaf, sambil berzikir: “Ya Karim! Ya Karim!”

Rasulullah s.a.w. menirunya membaca “Ya Karim! Ya Karim!” Orang itu Ialu berhenti di salah satu sudut Ka’bah, dan berzikir lagi: “Ya Karim! Ya Karim!” Rasulullah s.a.w. yang berada di belakangnya mengikut zikirnya “Ya Karim! Ya Karim!” Merasa seperti diolok-olokkan, orang itu menoleh ke belakang dan yang terlihat olehnya seorang laki-laki yang gagah, lagi tampan yang belum pernah dikenalinya. Orang itu Ialu berkata:

“Wahai orang tampan! Apakah engkau memang sengaja memperolok-olokkanku, karena aku ini adalah orang Arab badui? Kalau bukan karena ketampananmu dan kegagahanmu, pasti engkau akan aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah.”

Mendengar kata-kata orang badui itu, Rasulullah s.a.w. tersenyum, lalu bertanya: “Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab?” “Belum,” jawab orang itu. “Jadi bagaimana kau beriman kepadanya?”

“Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum pernah melihatnya, dan membenarkan sabdanya, sekalipun saya belum pernah bertemu dengannya,” kata orang Arab badui itu pula.

Rasulullah s.a.w. pun berkata kepadanya: “Wahai orang Arab! Ketahuilah aku ini Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat!” Melihat Nabi di hadapannya, dia tercengang, seperti tidak percaya.

“Rabbi ini Nabi Muhammad?!” “Ya” jawab Nabi s.a.w. Dia segera tunduk untuk mencium kedua kaki Rasulullah s.a.w. Melihat hal itu, Rasulullah s.a.w. menarik tubuh orang Arab itu, seraya berkata kepadanya:

“Wahal orang Arab! janganlah berbuat seperti itu. Perbuatan seperti itu balasannya dilakukan oleh hamba sahaya kepada juragannya, Ketahuilah, Allah mengutusku bukan untuk menjadi seorang yang takabbur yang meminta dihormati, atau diagungkan, tetapi demi membawa berita gembira bagi orang yang beriman, dan membawa berita menakutkan bagi yang mengingkarinya.”

Ketika itulah, Malaikat Jibril a.s. turun membawa berita dari langit dia berkata: “Ya Muhammad! Rabii As-Salam mengucapkan salam kepadamu dan bersabda: “Katakanlah kepada orang Arab itu, agar dia tidak terpesona dengan belas kasih Allah. Ketahuilah bahwa Allah akan menghisabnya di hari Mahsyar nanti, akan menimbang semua amalannya, baik yang kecil maupun yang besar!” Setelah menyampaikan berita itu, Jibril kemudian pergi. Maka orang Arab itu pula berkata:

“Demi keagungan serta kemuliaan Tuhan, jika Tuhan akan membuat perhitungan atas amalan hamba, maka hamba pun akan membuat perhitungan dengannya!” kata orang Arab badui itu. “Apakah yang akan engkau perhitungkan dengan Rabb?” Rasulullah bertanya kepadanya. ‘Jika Rabb akan memperhitungkan dosa-dosa hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa besar maghfirahnya,’ jawab orang itu. ‘Jika Dia memperhitungkan kemaksiatan hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa luas pengampunan-Nya. Jika Dia memperhitungkan kekikiran hamba, maka hamba akan memperhitungkan pula betapa kedermawanannya!’

Mendengar ucapan orang Arab badui itu, maka Rasulullah s.a.w. pun menangis mengingat betapa benarnya kata-kata orang Arab badui itu, air mata beliau meleleh membasahi Janggutnya. Lantaran itu Malaikat Jibril turun kembali seraya berkata:

“Ya Muhammad! Rabbi As-Salam menyampaikan salam kepadamu, dan bersabda: Berhentilah engkau menangis! Sesungguhnya karena tangismu, penjaga Arsy lupa dengan bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga Ia bergoncang. Katakan kepada temanmu itu, bahwa Allah tidak akan menghisab dirinya, juga tidak akan memperhitungkan kemaksiatannya. Allah sudah rnengampuni semua kesalahannya dan la akan menjadi temanmu di syurga nanti!” Betapa sukanya orang Arab badui itu, ketika mendengar berita tersebut. la Ialu menangis karena tidak berdaya menahan keharuan dirinya.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib


Bisimillahir rahmanir rahiim

Ali bin Abi Thaib (599 – 661) adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi’ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad SAW. Uniknya meskipun Sunni tidak mengakui konsep Imamah mereka setuju memanggil Ali dengan sebutan Imam, sehingga Ali menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali adalah sepupu dari Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Muhammad.

Syi’ah berpendapat bahwa Ali adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad, dan sudah ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir Khum. Syi’ah meninggikan kedudukan Ali atas Sahabat Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Syi’ah selalu menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Alayhi Salam (AS) atau semoga Allah melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan.

Sebagian Sunni yaitu mereka yang menjadi anggota Bani Umayyah dan para pendukungnya memandang Ali sama dengan Sahabat Nabi yang lain.

Sunni menambahkan nama Ali dengan Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga Allah melimpahkan Ridha (ke-suka-an)nya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain.

Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhah (KW) atau semoga Allah me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat bahwa beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.

Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja’far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.

Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600(perkiraan). Muslim Syi’ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka’bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.

Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah.

Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi SAW terkesan tidak suka, karena itu mulai memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).

Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.

Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.

Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada Yesus (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi’ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.

Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tesebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.

Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah ‘Ihsan’) atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.

Karena bila ilmu Syari’ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.

Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior)atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.

Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.

Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu mempercayai ke-nabi-an Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah Nabi dan banyak hal lain.

Perang Badar

Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.

Perang Khandaq

Perang Khandak juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.

Perang Khaibar

Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:

“Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya”.

Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.

Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.

Setelah Nabi Wafat

Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi’ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.

Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Baitdan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai’at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali mem-bai’at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat

Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.

Sebagai Khalifah

Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai’at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai’at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.

Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Perang Jamal. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu’minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.

Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Perang Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.

Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Beliau meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.

Ali memiliki delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra dan memiliki keseluruhan 36 orang anak. Dua anak laki-lakinya yang terkenal, lahir dari anak Nabi Muhammad, Fatimah, adalah Hasan dan Husain.

Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi’ah.

Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan  Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib kerap digelari Sayyid.

15 Sebab Berkah Dapat di Cabut


Bismillahir rahmanir Rahiim

Berkah adalah sesuatu yang tumbuh dan bertambah, sedangkan tabarruk adalah do’a seorang manusia atau selainnya untuk memohon berkah. Allah SWT menjadikan berkah hanya bagi hamba-Nya yang beriman, bertaqwa dan shaleh. Firman Allah dalam surat Al-A’raaf ayat 96 yang artinya “Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” . Beberapa sebab dicabutnya Berkah :
1. Tidak adanya Taqwa dan Tidak takut kepada Allah SWT.
2. Tidak Ikhlas dalam beramal.
3. Tidak menyebut nama Allah SWT dalam setiap perbuatan dan tidak melakukan Dzikir serta Ibadah kepada-Nya. Setiap perbuatan yang tidak diawali dengan Bismillah, maka perbuatan itu terputus untuk memperoleh kebaikan dan berkah, bahkan perbuatan anda tersebut akan disertai syetan.
4. Memakan barang yang haram dan yang dihasilkan dari perbuatan haram.
5. Tidak berbakti kepada kedua orang tua dan menyia-nyiakan hak anak.
6. Memutus tali silaturahmi dan hubungan kekerabatan.
7. Sikap Bakhil dan tidak mau ber-infaq. Allah SWT tidak akan memberkahi harta yang hanya disimpan oleh pemiliknya dan enggan untuk menginfakkannya, karena perbuatan tersebut adalah perbuatan bakhil yang sangat tercela dan dibenci.
Allah SWT Berfirman : “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang – orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.
Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan – kesalahanmu dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” ( QS.Al-Baqarah(2): 271 )
Fiman Allah SWT : “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir, Seratus biji. Allah melipat gandakan(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui” ( QS.Al-Baqarah(2): 261 )
8. Tidak bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya.
9. Tidak Ridha terhadap apa yang diberikan Allah dan tidak pernah merasa puas (tidak qana’ah).
10. Melakukan perbuatan maksiat dan dosa, serta enggan bertaubat dan beristighfar.
11. Tidak mendidik anak dengan ajaran Diennullaah. Anak kita adalah tumpuan hati kita, pengharum jantung kita, pewangi aroma dunia dan buah kehidupan kita. Siapa saja yang berlaku buruk terhadap anak maka ia telah merugi dan telah melakukan ketidak patutan. Anak kita adalah madu kehidupan kita.
12. Berbuat kerusakan dan keburukan dimuka bumi.
13. Tidak bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya.
14. Pertengkaran dan perselisihan antara suami-istri.
15. Mendoakan kecelakaan bagi diri sendiri, anak-anak dan harta benda. Tidak ada kebaikan dan keberkahan pada dirimu, anakmu atau harta bendamu jika engkau mendoakannya dengan kecelakaan, karena terkadang Allah mengabulkan doamu pada saat itu, maka terjadilah musibah dan engkau menyesal ketika penyesalan tak berguna lagi. 



Alfatihah Membantah Semua Golongan Yang Batil


Bismillahir Rahmanir Rahiim

Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara: Global dan terinci. Secara global dapat diketahui bahwa ash-shirathul-mustaqim mencakup pengetahuan tentang kebenaran, memprioritaskan kebenaran daripada yang lain,mencintai, menyeru dan memerangi musuh-musuh kebenaran menurut kesanggupan. Kebenaran di sini adalah apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat, seperti ilmu dan amal tentang sifat Allah, asma’, perintah, larangan, janji, ancaman dan hakikat-hakikat iman, yang semuanya merupakan etape orang-orang yang berjalan kepada Allah. Semua masalah ini diserahkan kepada beliau dan bukan kepada pendapat dan pemikiran manusia. Jadi tidak dapat diragukan bahwa ilmu dan amal yang ada pada diri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat adalah pengetahuan tentang kebenaran, yang harus diprioritaskan daripada yang lain. Inilah yang disebut ash-shirathulmustaqim.Dengan cara yang global ini dapat diketahui bahwa siapa pun yang bertentangan dengan jalan ini adalah batil, atau merupakan satu jalan dari dua jenis golongan: Golongan yang mendapat murka dan golongan yang sesat.

Adapun dengan cara yang rinci, maka kita perlu mengetahui satu persatu setiap madzhab yang batil. Namun yang pasti, setiap kalimat Al-Fatihah mencakup penjelasan tentang kebatilannya.

Manusia secara umum dapat dibagi menjadi dua macam: Golongan yang mengakui kebenaran dan golongan yang mengingkari kebenaran. Sementara Al-Fatihah mencakup penetapan adanya Khaliq dan penolakan orang yang mengingkari keberadaan-Nya, yaitu dengan penetapan Rububiyah-Nya atas semesta alam. Perhatikanlah semua benda alam, baik alam atas maupun alam bawah, tentu engkau akan melihat bukti keberadaan  Sang Pencipta. Keberadaan Allah ini lebih nyata bagi akal dan fitrah daripada keberadaan sungai yang mengalir. Siapa yang tidak mempunyai pandangan seperti ini dalam akal dan fitrahnya, berarti harus dipertanyakan, adakah sesuatu yang tidak beres pada akalnya?

Seiring dengan kebatilan orang-orang yang mengingkari keberadaan Allah, batil pula pendapat orang-orang yang mengatakan tentang wahdatul-wujud (kesatuan wujud), bahwa wujud alam ini juga merupakan  wujud Allah dan Allah merupakan hakikat wujud alam ini. Jadi menurut mereka tidak ada lagi istilah Rabb dan hamba, penguasa dan yang dikuasai, pengasih dan yang dikasihi, pemberi pertolongan dan yang meminta pertolongan, pemberi petunjuk dan yang diberi petunjuk, pemberi nikmat dan yang diberi nikmat, sebab Allah adalah hamba itu sendiri,yang disembah adalah yang menyembah itu sendiri. Perbedaan wujud hanya sekedar masalah relatifitas yang bergantung kepada fenomena dzat dan penampakannya, sehingga terkadang bisa berwujud seorang hamba biasa, terkadang berwujud Fir’aun, pemberi petunjuk, nabi, rasul, ulama dan lain sebagainya. Sekalipun berbeda-beda, semua berasal dari satu inti,bahkan Allah adalah inti itu sendiri.

Surat Al-Fatihah, semenjak pertama hingga akhirnya menjelaskan kebatilan dan kesesatan golongan ini.

Orang-orang yang menetapkan adanya Khaliq ada dua macam:

1. Golongan yang mengesakan Khaliq atau ahli tauhid.

2. Golongan yang menyekutukan Khaliq atau ahli syirik.

Ahli syirik ada dua macam:

1. Orang-orang yang menyekutukan Rububiyah dan Uluhiyah-Nya, seperti orang-orang Majusi dan yang serupa dengan mereka dari golongan Qadariyah. Mereka menetapkan adanya pencipta Allah yang menyertai Allah, sekalipun mereka tidak mengatakan adanya kesetaraan di antara keduanya. Golongan Qadariyah Majusi menetapkan adanya para pencipta perbuatan di samping Allah. Perbuatan ini di luar kehendak Allah dan Allah tidak mempunyai kekuasaan terhadapnya, tapi para pencipta selain-Nya itulah yang menjadikan diri mereka bisa berbuat dan berkehendak. Di dalam Iyyaka na’budu terkandung sanggahan terhadap pendapat mereka. Sebab pertolongan yang mereka mohonkan kepada-Nya berarti mengharapkan sesuatu yang ada di Tangan Allah dan ada dalam kekuasaan serta kehendak-Nya. Lalu bagaimana mungkin orang yang katanya mampu berbuat, tapi dia masih meminta pertolongan?

2. Orang-orang yang menyekutukan Uluhiyah-Nya. Mereka mengatakan bahwa hanya Allah penguasa dan pencipta segala sesuatu, bahwa Allah adalah Rabb mereka dan bapak-bapak mereka semenjak dahulu. Tetapi sekalipun begitu mereka masih menyembah selain-Nya, mencintai dan mengagungkannya. Mereka menciptakan tandingan bagi Allah. Mereka tidak menetapi hak iyyaka na’budu. Sekalipun memang mereka na’buduka (kami menyembah-Mu), tapi mereka tidak murni dalam iyyaka na’budu, yang mengandung pengertian: Kami tidak menyembah kecuali Engkau semata, dengan penuh kecintaan, harapan, ketakutan, ketaatan dan pengagungan. Iyyaka na’budu merupakan penge-jawantahan dari tauhid dan peniadaan syirik dalam Uluhiyah, seba-gaimana iyyaka nasta’in merupakan pengejawantahan dalam tauhid Rububiyah dan peniadaan syirik dalam Rububiyah.

Surat Al-Fatihah juga mengandung sanggahan terhadap pendapat berbagai golongan yang menyimpang dan sesat, seperti:

1. Al-Jahmiyah yang meniadakan sifat-sifat Allah.

2. Al-Jabariyah yang meniadakan pilihan dan kehendak bagi manusia,yang segala sesuatu pada diri manusia berdasarkan kehendak Allah.

3. Golongan yang menetapkan perbuatan Allah pada hal-hal yang pasti dan Dia tidak mempunyai pilihan serta kehendak.

4. Golongan orang-orang yang mengingkari keterkaitan ilmu-Nya dengan hal-hal parsial.

5. Golongan orang-orang yang mengingkari nubuwah.

6. Golongan yang mengatakan tentang keberadaan alam semenjak dahulu kala.

7. Ar-Rafidhah yang menganggap hanya keturunan Rasulullah yang benar,sedangkan selain mereka tidak benar dan tidak akan masuk surga,sekalipun itu semacam shahabat Abu Bakar.

Masalah Zakat


Bismillahir Rahmanir Rahiim

Zakat terbagi menjadi dua jenis. Pertama , zakat yang di tentukan oleh syari’at agama Islam. Kedua, zakat menurut pandangan ahli tariqah.

Zakat yang ditentukan oleh syari’at ialah zakat yang dikeluarkan untuk harta kekayaan yang diperoleh secara halal di dunia, yang berasal dari kelebihan harta dalam keluarga, dan dibagikan kepada mereka yang memerlukan dan asnaf – asnaf zakat. Dan yang berhak menerimanya fakir miskin dan orang orang terlantar lainnya yang membutuhkan.

Zakat dari sudut pandang thariqat ialah sebagian dari harta ruhani yang diperoleh seseorang dan dibagikan kepada mereka yang memerlukannya, yaitu fakir miskin dalam bidang ruhani. Allah Swt berfirman :
“ Sesungguhnya zakat –zakat itu hanyalah untuk orang orang fakir, orang – orang miskin, pengurus – pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan hamba abdi (budak), orang – orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang – orang yang sedang dalam perjalanan,  sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (at – Taubah : 60)

Apa saja yang diberikan dengan tujuan untuk berzakat, pada hakikatnya terlebih dahulu jatuh di “tangan” Allah Swt. Sebelum zakat itu sampai ke tangan penerimanya. Karena itu, sebenarnya zakat diperintahkan kepada kita agar kita membantu fakir miskin karena Allah sendiri adalah Maha Pemberi segala keperluan, termasuk para fakir miskin itu. Tetapi rahasia sebenarnya yang ada dibalik itu, ialah untuk menjadikan niat pemberi zakat itu diterima oleh Allah Swt.

Menghadiahkan Pahala untuk Orang Lain

Mereka yang dekat dengan Allah membagi-bagikan ganjaran ruhaninya, hasil ibadah dan amal salehnya dengan niat untuk menghadiahkan pahala amalan salehnya itu kepada orang–orang yang berdosa. Allah dengan Rahmat-Nya mengampuni dosa-dosa hamba–hamba-Nya yamg berdosa dari hasil pembagian sebagian pahala dan ganjaran yang diperoleh hamba–hamba- Nya yang saleh.

Tegasnya, orang – orang Sufi dalam kategori ini sangat merahmati orang-orang awam yang lalai dan selalu mensia-siakan dirinya. Orang seperti ini berada dalam bahaya yang besar, namun mereka tidak sadar, dan terus hidup dalam kelalaian.

Karena itulah kaum Sufi menaruh iba terhadap orang orang yang berdosa ini, sehingga semua amalan baik dan bakti yang dikerjakannya tidak bertujuan untuk meraih pahala yang banyak untuk dirinya sendiri di hari pembalasan. Bahkan, dia menghadiahkan semua pahalanya untuk orang–orang yang lalai dan berdosa tersebut. Mereka dianggap miskin, tidak mempunyai amalan baik yang akan membentengi mereka dari api neraka dan azab siksa di akhirat. Karena itulah mereka dizakati dari amalan–amalan yang dibuat oleh orang–orang Sufi agar timbangannya nanti menjadi berat.

Orang–orang Sufi ini mengosongkan dirinya dari harta benda keduniaan. Bahkan, semua pahala yang diraih dari amalan–amalan  kebajikannya pun sudah dihadiahkan kepada orang lain. Jadi, mereka tidak lagi memiliki sesuatu apa pun. Ketaatannya di dunia bukan karena harta dan pangkat, melainkan untuk kehidupannya di akhirat kelak ; bukan karena menginginkan  balasan atau pahala yang banyak, melainkan untuk Allah dan semata–mata karena Allah. Ia adalah hamba, dan Dia adalah Tuannya. Dan seorang hamba harus menuruti semua perintah ‘Tuannya’ , karena menunjukkan kepatuhan adalah hal–hal yang mutlak, bukan karena mencari keuntungan dengan balasan pahala atau sebagainya. Orang yang membelanjakan seluruh hartanya dan tidak mengharapkan balasan apa–apapun, termasuk orang–orang yang dilindungi dan dijaga Allah di dunia dan di akhirat.

Seorang Waliyullah perempuan yang bernama Rabi’ah al-‘Adawiyah pernah berdo’a kepada Allah, yang lebih kurang bunyinya sebagai berikut : ”Wahai Tuhanku ! Berikanlah semua bagianku (hartaku) di dunia ini kepada orang – orang kafir, dan sekiranya ada ganjaran bagiku di akhirat nanti, berikanlah semua ganjaranku itu kepada hamba-Mu. Itu saja yang hamba minta dari-Mu, karena manusia dan apa yang dimilikinya, yang sementara itu, sebenarnya adalah milik – Mu jua.”

Itulah yang diminta seorang ‘Abid yang Sufi, yang merindukan Tuhannya, bukan harta kekayaan dan kemewahan Zahrah al-hayah ad-dunya yang dimintanya untuk mengecap kehidupan yang mewah dan bersenang-senang di dunia ini. Tetapi bila ia memintanya, nicaya Allah akan memberikan apa yang diinginkannya. Dan bukan pula pahala dan ganjaran akhirat yang banyak diharapkannya. Malah yang ada untuknya pun, semuanya sudah dihadiahkan kepada yang lain. Yang dikejar dan dicita-citakannya tidak lain adalah kecintaan dan maghfirah-Nya, perlindungan-Nya, perhatian-Nya, kedekatan dengan-Nya, dan akhirnya ia melihat Wajah-Nya. Itulah puncak karunia Allah Swt ! Karena itu, hari mereka tidak pernah berhenti untuk merindukan-Nya.

Setiap yang diberikan manusia di jalan Allah, yang dilakukan dengan tujuan untuk mencari keridhaan Allah, usaha yang dilakukannya itu tidak mungkin sia–sia belaka. Malah ia akan diganti dengan sekurang–kurangnya sepuluh kali dari pahala kita. Bahkan, jika ia benar–benar ikhlas, pahalanya akan dilipatgandakan lagi hingga mencapai tujuh ratus kali lipat atau lebih dari itu. Allah bersifat murah hati, sedangkan kita, memberipun tidak. Nikmat dan karunia-Nya untuk kita sangat berlimpah, terlebih lagi jika kita memberi sesuatu untuk menunjukkan rasa syukur kepada-Nya.

Suka memberi adalah sifat-Nya, dan Dia senang melihat hamba-Nya mencontoh sifat suka memberi yang menjadi sifat-Nya itu. Perbendaharaan Tuhan tidak akan kosong, dan bila Allah memberi, Dia akan memberi dengan tangan-Nya yang terbuka.

Allah Swt. Berfirman :

“Barang siapa yang datang membawa amal yang baik, maka ia akan mendapat pahala sebanyak sepuluh kali lipat dari kita, dan barang siapa yang datang membawa perbuatan yang jahat, dia tidak mendapatkan pembalasan, melainkan yang seimbang dengan kejahatannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan)” (al-An’am : 160)

Zakat Berfungsi untuk Membersihkan Diri

Satu lagi faedah zakat yaitu pembersihan. Zakat membersihkan harta dan diri kita. Jika diri kita dibersihkan dari sifar – sifat keegoan maka tujuan zakat dari segi ruhani telah tercapai. Memisahkan diri kita dari sebagian kecil apa yang kita sangka milik kita, akan mendatangkan ganjaran yang berlipat ganda di akhirat kelak, Allah menjanjikan :

“Siapakah yang mampu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipaatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dia akan mendapatkan pahala yang banyak.” (al-Hadid :11)

Sebenarnya harta kekayaan di tangan kita itu adalah pinjaman dari Allah. Selama ia ada di tangan kita, kita bisa berbuat apa saja yang kita suka. Tetapi hendaknya kita tidak melupakan haknya dan mengeluiarkan zakat. Dan jangan lupa hak itu bisa dicabut Allah kapan saja. Betapa banyak kita melihat  orang yang kaya raya, yang terus asyik bersuka ria, tetapi sesaat kemudian datang musibah menimpanya sehingga hartanya hilang lenyap, ataupun sudah tidak berguna lagi,  malah dinikmati orang lain. Ataupun harta itu menjadi milik orang lain dilain waktu, dan kita pula yang menanggung akibatnya.

Firman Allah :
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya” (asy-Syams : 9 )

Pensucian diri dilakukan dengan mengeluarkan zakat, bersedekah, serta berbuat amal–amal jariah. Selain ia membersihkan diri dari daki-daki dunia, ia juga memanjangkan umur dan menyelamatkan dari dari siksa sengsara di akhirat kelak. Betapa beruntungnya pemilik harta yang menyedekahkan hartanya sehingga ia mendapatkan ganjaran–ganjaran yang tidak dapat ditebus dengan uang nanti.

Zakat sebagai Hadiah yang Indah

Zakat ibarat sebuah hadiah yang indah, suatu perbuatan yang baik, yang diambil dari sebagian rezeki yang kita peroleh, baik berupa kebendaan maupun ruhani. Keluarkanlah zakat semata–mata karena Allah kepada hamba–hamba Allah. Meskipun dijanjikan pahala dan ganjaran yang berlipat ganda, janganlah niat kita berzakat itu karena menginginkan pahala. Berzakatlah karena Allah semata–mata, dengan hati yang penuh prihatin, cinta dan kasih sayang terhadap hamba –hamba Allah yang fakir miskin dan memerlukan, bukan mengharapkan sesuatu ganjaran, dan mengharapkan ucapan terima kasih sekalipun dari penerima zakat.

Karena kita mengharapkan sesuatu, sama artinya dengan kita meminta budi kita dibalas. Perbuatan seperti itu tidak bisa dikatakan ‘kita memberi karena Allah’, karena kita telah mengatas namakan Allah dengan sesuatu yang lain. Jelasnya, lidah kita berkata ‘sedekah itu diberikan karena Allah’ tetapii hati kita meminta sesuatu balasan dari penerima sedekah itu, biar apa saja, sampaikan ucapannya ‘terima kasih’, yang mana kalau tidak dikatakan begitu mungkin kita akan bersungut.

Ini gambaran sedekah suka rela. Namun pada zakat yang wajib, masalahnya lebih berat lagi, karena zakat  itu adalah hak Allah yang diamanahkan-Nya pada tangan kita. Sepatutnya, bila ada orang mau menerima zakat itu, dan kitalah yang mengucapkan terima kasih kepadanya, bukan si penerima zakat itu yang mengucapkan terima kasih, karena dia telah mempu meringankan beban amanat yang dipikul, dengan menerima zakat itu.

Walaupun  begitu, orang yang menerimanya wajar pula mengucapkan terima kasih kepada si pemberi, yang sama artinya dia berterima kasih kepada Tuhan, karena Tuhanlah yang menggerakkan diri orang itu untuk memberi kepadanya, tidak kepada yang lain. Harap dipahami permasalahan ini dengan baik.

Firman Allah :

“Hai orang – orang yang beriman ! Janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut – nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang bertanah di atasnya, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, menjadikan ia bersih (tidak bertanah), lalu mereka tidak mengusai sesuatu pun dan apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang – orang yang kafir ” (al – Baqarah : 264)

Wahai manusia! Janganlah mengharapkan sembarang ganjaran kediniaan dari amalan yang kamu lakukan, karena itu akan merusak amalan kamu sehingga ia menjadi sia –sia, tidak dipandang oleh Allah Swt. Tetapi lakukanlah amalan itu karena Allah semata – mata, tidak ditujukan  dengan yang lain, karena amalan yang ditujukan dengan yang lain itu akan ditolak, tidak diterima Allah. Rahasiakanlah amalan kamu itu sehingga jangan ada orang lain yang tahu. Hanya Allah saja yang tahu. Bukankah sudah cukup, jika amalan itu hanya Allah saja yang tahu, tanpa diperlihatkan kepada yang lain, karena amalan yang diperlihatkan itu ialah amalan yang ditujukan  untuk sifat riya’, dan sifat riya’ sungguh merusak amalan manusia !

Firman Allah :

“ Kamu tidak akan sampai kepada ketaatan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan itu, maka sesungguhnya Allah mengetahui “ (Ali Imran :92)

Harta itu adalah harta Allah Swt

Semua harta yang kita miliki, pada hakikatnya adalah milik Allah. Selama berada di tangan kita, harta itu hanyalah pinjaman dari Allah, karena setiap saat Allah dapat mengambilnya kembali. Jadi, sementara  harta itu ada di tangan kita, gunakanlah harta itu di jalan Allah, karena apa yang kita infakkan di jalan-Nya akan menjadi harta yang hakiki. Kita harus ingat bahwa setiap infak yang kita berikan akan mendapat balasan di hari akhirat kelak. Infak inilah yang menjadi bekal yang sangat kita perlukan pada waktu itu. Dan balasan yang diberikan Allah itu akan berlipat ganda hingga sepuluh kali amalan yang telah kita lakukan. Demikianlah seterusnya hingga menjadi lebih banyak dari itu, sesuai dengan kehendak-Nya.

Jelaslah bahwa apa yang kita infakkan, sebenarnya itulah yang menjadi harta kita. Dan apa yang kita pertahankan mungkin suatu saat akan diambil kembali oleh Tuhan yang memberinya atau mungkin akan menjadi hak orang lain. Betapa banyak malapetaka yang menimpa orang–orang kaya yang telah mengabaikan kewajiban atas hartanya. Harta adalah fitnah, sebagaimana yang diberitahukan oleh Allah di dalam firman-Nya :

“Bahwasanya harta kamu dan anak – anak kamu itu adalah fitnah, dan di sisi Allah ada pahala yang besar “ (at – Tagabun : 15)

Jadi, jika harta itu tidak diinfakkan di jalan yang benar, seperti yang diperintahkan Allah, maka harta itu akan menjadi fitnah. Artinya, jika si pemiliknya itu tidak lulus dalam ujian tentang harta yang dimilikinya, maka harta harta itu akan menjadi fitnah yang bisa melumatkan pemiliknya. Fitnah yang dijatuhkan kepada hartawan yang lalim itu mengandung dua  pengertian. Pertama, ada kalanya fitnah itu menimpa dirinya di dunia dengan berbagai cara yang sudah jelas hukumannya. Kedua, jika tidak di dunia, fitnah itu akan menelan pemiliknya di akhirat berupa ular besar yang akan menyulitkannya dengan berbagai macam siksaan, na’uzu billahi min zalik.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa diantara harta kita terdapat hak fakir miskin dan orang orang terlantar yang membutuhkan bantuan kita, khususnya kaum kerabat dan tetangga dekat. Hak fakir miskin  dalam konteks ini bukan berarti zakat yang sudah menjadi kewajiban atas harta kita yang harus dibayarkan. Bahkan selain zakat, adapula kewajiban– kewajiban lain yang harus dikerjakan, yaitu sedelah sukarela untuk membantu orang–orang yang memerlukannya.

Selain itu, apabila harta itu tidak digunakan sesuai dengan kehendak syari’at Islam, maka bila pemiliknya meninggal dunia, harta itu harus pula ditinggalkannya. Akhirnya harta peninggalannya itu akan menjadi hak orang lain, yakni hak para warisnya. Semoga para warisnya memanfaatkannya di jalan yang baik agar pahalanya terus mengalir kepada pemilik asal. Tetapi jika harta itu dibelanjakan di jalan yang penuh dosa dan maksiat yang tidak diridhai Tuhan, maka bencana yang turun karena harta itu akan mengalir pula kepada pewarisnya. Ia akan ditahan dan diminta pertanggungjawaban atas harta yang diwariskannya itu. Itulah ujian dan fitnah yang berat yang akan ditanggung oleh orang yang mewariskan harta itu. Allah telah berfirman :

“………dan Dia akan memberikan kekuasaan kepada kamu di muka bumi ini agar Dia melihat apa yang kamu kerjakan “ (al – A’raf :126)

Itulah peringatan Tuhan kepada hamba-Nya agar mematuhi peringatan itu untuk kebaikan dirinya. Sepintas, berinfak di jalan Allah tampak seperti perbuatan yang merugikan bila dipandang dari ukuran dunia, karena harta itu akan semakin berkurang. Namun, dibalik kerugian itu tersimpan keuntungan yang besar, yang sangat berguna bagi mereka yang rela menyisihkan sebagian hartanya untuk orang–orang yang memerlukannya. Balasan yang akan diterima di akhirat itu tidak dapat disamakan dengan besarnya harta kekayaan di dunia. Kelak harta yang diinfakkan itu akan semakin berkembang, insya Allah, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw.  :

Artinya : “Mereka yang menyedekahkan hartanya kepada orang lain, hartanya tidak akan berkurang. Bahkan, harta itu akan bertambah, dan bertambah

Wabillahi’taufik wal’Hidayah wal’inayah Wassallamualaikum Warahmatullahi Wa’baraakatuh Wa’maghfirah

Hadist


Bismillahir Rahmanir Rahiim

PENDAHULUAN

  1. Pada awalnya Rasulullah saw melarang para sahabat menuliskan hadits, karena dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan Al-Qur’an.
  2. Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alshari untuk membukukan hadits.
  3. Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Ar-Rabi Bin Shabi dan Said bin Abi Arabah, akan tetapi pengumpulan hadits tersebut masih acak (tercampur antara yang shahih dengan, dha’if, dan perkataan para sahabat.
  4. Pada kurun ke-2 imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di Madinah, di Makkah Hadits dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik Bin Ibnu Juraiz, di Syam oleh imam Al-Auza i, di Kuffah oleh Sufyan At-Tsauri, di Bashrah oleh Hammad Bin Salamah.
  5. Pada awal abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab-kitab musnad, seperti musnad Na’im ibnu hammad.
  6. Pada pertengahan abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab shahih Bukhari dan Muslim.

PEMBAHASAN

Ilmu Hadits:

ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak.

Hadits:

Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah saw, berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat (lahiriyah dan batiniyah).

Sanad:

Mata rantai perawi yang menghubungkannya ke matan.

Matan:

Perkataan-perkataan yang dinukil sampai ke akhir sanad.

PEMBAGIAN HADITS

Dilihat dari konsekuensi hukumnya:

  1. Hadits Maqbul (diterima): terdiri dari Hadits shahih dan Hadits Hasan
  2. Hadits Mardud (ditolak): yaitu Hadits dha’if

Penjelasan:

HADITS SHAHIH:

Yaitu Hadits yang memenuhi 5 syarat berikut ini:

  1. Sanadnya bersambung (telah mendengar/bertemu antara para perawi).
  2. Melalui penukilan dari perawi-perawi yang adil.Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid’ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik).
  3. Tsiqah (yaitu hapalannya kuat).
  4. Tidak ada syadz. Syadz adalah seorang perawi yang tsiqah menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya.
  5. Tidak ada illat atau kecacatan dalam Hadits

Hukum Hadits shahih: dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.

HADITS HASAN:

Yaitu Hadits yang apabila perawi-perawinya yang hanya sampai pada tingkatan shaduq (tingkatannya berada di bawah tsiqah).

Shaduq: tingkat kesalahannya 50: 50 atau di bawah 60% tingkat ke tsiqahannya. Shaduq bisa terjadi pada seorang perawi atau keseluruhan perawi pada rantai sanad.

Para ulama dahulu meneliti tingkat ketsiqahan seorang perawi adalah dengan memberikan ujian, yaitu disuruh membawakan 100 hadits berikut sanad-sanadnya. Jika sang perawi mampu menyebutkan lebih dari 60 hadits (60%) dengan benar maka sang perawi dianggap tsiqah.

Hukum Hadits Hasan: dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.

HADITS HASAN SHAHIH

Penyebutan istilah Hadits hasan shahih sering disebutkan oleh imam Tirmidzi. Hadits hasan shahih dapat dimaknai dengan 2 pengertian:

  • Imam Tirmidzi mengatakannya karena Hadits tersebut memiliki 2 rantai sanad/lebih. Sebagian sanad hasan dan sebagian lainnya shahih, maka jadilah dia Hadits hasan shahih.
  • Jika hanya ada 1 sanad, Hadits tersebut hasan menurut sebagian ulama dan shahih oleh ulama yang lainnya.

HADITS MUTTAFAQQUN ‘ALAIHI

Yaitu Hadits yang sepakat dikeluarkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim pada kitab shahih mereka masing-masing.

TINGKATAN HADITS SHAHIH

  • Hadits muttafaqqun ‘alaihi
  • Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Bukhari saja
  • Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Muslim saja
  • Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim, serta tidak dicantumkan pada kitab-kitab shahih mereka.
  • Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari
  • Hadits yang sesuai dengan syarat Muslim
  • Hadits yang tidak sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim

Syarat Bukhari dan Muslim: perawi-perawi yang dipakai adalah perawi-perawi Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka.

HADITS DHA’IF

Hadits yang tidak memenuhi salah satu/lebih syarat Hadits shahih dan Hasan.

Hukum Hadits dha’if: tidak dapat diamalkan dan tidak boleh meriwayatkan Hadits dha’if kecuali dengan menyebutkan kedudukan Hadits tersebut. Hadits dha’if berbeda dengan hadits palsu atau hadits maudhu`. Hadits dha’if itu masih punya sanad kepada Rasulullah SAW, namun di beberapa rawi ada dha`f atau kelemahan. Kelemahan ini tidak terkait dengan pemalsuan hadits, tetapi lebih kepada sifat yang dimiliki seorang rawi dalam masalah dhabit atau al-`adalah. Mungkin sudah sering lupa atau ada akhlaqnya yang kurang etis di tengah masyarakatnya. Sama sekali tidak ada kaitan dengan upaya memalsukan atau mengarang hadits.

Yang harus dibuang jauh-jauh adalah hadits maudhu`, hadits mungkar atau matruk. Dimana hadits itu sama sekali memang tidak punya sanad sama sekali kepada Rasulullah saw. Walau yang paling lemah sekalipun. Inilah yang harus dibuang jauh-jauh. Sedangkan kalau baru dha`if, tentu masih ada jalur sanadnya meski tidak kuat. Maka istilah yang digunakan adalah dha`if atau lemah. Meski lemah tapi masih ada jalur sanadnya.

Karena itulah para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadits dha`if, dimana sebagian membolehkan untuk fadha`ilul a`mal. Dan sebagian lagi memang tidak menerimanya. Namun menurut iman An-Nawawi dalam mukaddimahnya, bolehnya menggunakan hadits-hadits dha’if dalam fadailul a’mal sudah merupakan kesepakatan para ulama.

Untuk tahap lanjut tentang ilmu hadits, silakan merujuk pada kitab “Mushthalahul Hadits”

Buat kita orang-orang yang awam dengan ulumul hadits, tentu untuk mengetahui derajat suatu hadits bisa dengan bertanya kepada para ulama ahli hadits. Sebab merekalah yang punya kemampuan dan kapasitas dalam melakukan penelusuran sanad dan perawi suatu hadits serta menentukan derajatnya.
Setiap hadits itu harus ada alur sanadnya dari perawi terakhir hingga kepada Rasulullah SAW. Para perawi hadits itu menerima hadits secara berjenjang, dari perawi di atasnya yang pertama sampai kepada yang perawi yang ke sekian hingga kepada Rasulullah SAW.

Seorang ahli hadits akan melakukan penelusuran jalur periwayatan setiap hadits ini satu per satu, termasuk riwayat hidup para perawi itu pada semua level / tabaqathnya. Kalau ada cacat pada dirinya, baik dari sisi dhabit (hafalan) maupun `adalah-nya (sifat kepribadiannya), maka akan berpengaruh besar kepada nilai derajat hadits yang diriwayatkannya.

Sebuah hadits yang selamat dari semua cacat pada semua jalur perawinya hingga ke Rasulullah SAW, dimana semua perawi itu lolos verifikasi dan dinyatakan sebagai perawi yang tisqah, maka hadits itu dikatakan sehat, atau istilah populernya shahih. Sedikit derajat di bawahnya disebut hadits hasan atau baik. Namun bila ada diantara perawinya yang punya cacat atau kelemahan, maka hadits yang sampai kepada kita melalui jalurnya akan dikatakan lemah atau dha`if.

Para ulama mengatakan bila sebuah hadits lemah dari sisi periwayatannya namun masih tersambung kepada Rasulullah SAW, masih bisa dijadikan dalil untuk bidang fadhailul a`mal, atau keutamaan amal ibadah.

Sedangkan bila sebuah hadits terputus periwayatannya dan tidak sampai jalurnya kepada Rasulullah SAW, maka hadits ini dikatakan putus atau munqathi`. Dan bisa saja hadits yang semacam ini memang sama sekali bukan dari Rasulullah SAW, sehingga bisa dikatakan hadits palsu atau maudhu`. Jenis hadits yang seperti ini sama sekali tidak boleh dijadikan dasar hukum dalam Islam.

Untuk mengetahui apakah sebuah hadits itu termasuk shahih atau tidak, bisa dilihat dalam kitab susunan Imam Al-Bukhari yaitu shahih Bukhari atau Imam Muslim yaitu shahih muslim. Untuk hadits-hadits dha’if juga bisa dilihat pada kitab-kitab khusus yang disusun untuk membuat daftar hadits dha’if.

Di masa sekarang ini, para ulama yang berkonsentrasi di bidang hadits banyak yang menuliskannya, seperti karya-karya Syaikh Nashiruddin Al-Albani. Di antaranya kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah yang berjumlah 11 jilid.

HUKUM MERIWAYATKAN DAN MENGAMALKAN HADIST-HADIST DHA’IF UNTUK FADHAA-ILUL A’MAL (KEUTAMAAN AMAL) TARGHIB DAN TARHIB DAN LAIN-LAIN

PERTAMA

Menjelaskan beberapa kesalahan dan kejahilan dalam memehami perkataan sebagian ulama tentang mengamalkan hadist dhaif untuk fadhaa-ilul a’mal :

1. Kebanyakan dari mereka menyangka bahwa masalah mengamalkan hadist-hadist dhaif untuk fadhaa-ilul a’mal atau targhib dan tarhib tidak ada khilaf lagi – tentang bolehnya- diantara para ulama. Inilah
persangkaan yang jahil. Padahal , kenyataannya justru sebaliknya.

Yakni telah terjadi khilaf diantara mereka para ulama sebagaimana diterangkan secara luas di dalam kitab-kitab musthalah . dan menurut mazhab Imam Malik , Syafi’I , Ahmad bin Hambal , Yahya bin Ma’in,
Abdurahman bin Mahdi , Bukhari , Muslim , Ibnu Abdil Baar , Ibnu Hazm dan para imam ahli hadist lainnya , mereka semua TIDAK MEMBOLEHKAN beramal dengan hadist dhaif  SECARA MUTLAK meskipun untuk fadhailul a’mal dan lain-lain. Tidak di ragukan lagi inilah mazhab yang haq. Karena tidak ada hujjah kecuali hadist-hadist yang telah tsabit dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam . Cukuplah saya turunkan
perkataan Imam Syafi’I :” idza shohhal hadistu fahuwa mazhabiy”
apabila telah sah suatu hadist . maka itulah mazhabku.

2. Mereka memahami bahwa mengamalkan hadist dha’if itu untuk menetapkan (itsbat) tentang suatu amal. Baik mewajibkan , menyunatkan (mustahab) , mengharamkan atau memakruhkannya meskipun tidak datang
nash dari Al kitab dan As Sunnah .

Seperti mereka telah menetapkan dengan hadist-hadist dha’if beberapa macam shalat sunat dan ibadah lainnya yang sama sekali tidak ada dalil shahih dari As Sunnah secara tafsil (terperinci) yang menerangkan
tentang sunatnya. Kalaupun demikian pemahaman mereka dalam mengamalkan hadist-hadist dha’if untuk fadhaailul a’mal.

Allahumma ! Memang demikianlah yng selama ini mereka amalkan. Maka, jelaslah bahwa mereka telah menyalahi ijma ulama sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Karena barang siapa
yang menetapkan (istbat) tentang sesuatu amal yang tidak ada nashnya dari al Kitab dan As Sunnah baik secara jumlah (garis besarnya) dan tafsil atau secara tafsil (rinci) saja, maka sesungguhnya ia telah membuat syariat yang tidak diizinkan oleh Allah Jalla wa ‘Alaa.

Kepada mereka ini , Imam Syafi’I , telah memperingatkan dengan perkataannya yang masyhur :”man istahsana faqod syaro’a” – barangsiapa yang menganggap baik (istihsan) – yakni tentang suatu amal yang
tidak ada nash dan Sunnah – maka sesungguhnya ia telah membuat syariat baru !!!! Semoga Allah merahmati Imam Syafi’I yang terkenal dikalangan salaf sebagai naashirus sunnah (pembela sunnah).

Ketahuilah! Bahwa yang dimaksud oleh sebagian ulama boleh beramal dengan hadist-hadist dho’if untuk fadhail a’amal atau targhib dan tarhib , ialah apabila yelah datang nash yang shahih secara tafsil
(rinci) yang menetapkan tentang suatu amal – baik wajib, sunat,haram atau makruh- kemudian datang hadist-hadist dho’if (yang ringan dho’ifnya) yang menerangkan tentang keutamaannya (fadha’il a’mal) atau
targhib dan tarhib dengan syarat hadist-hadist tsb tidak sangat dho’if atau maudhu’ (palsu), maka inilah yang dimaksud.
3. Salah faham dengan perkataan Imam Ahmad bin Hambal dan ulama salaf lainnya yang semakna perkataannya dengan beliau yang menyatakan :

“Apabila kami meriwayatkan dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tentang halal, haram , sunan (sunat-sunat) dan ahkam, KAMI KERASKAN (yakni kami periksa dengan ketat) sanad-sanadnya. Dan apabila kami meriwayatkan dari nabi shalallahu alaihi wa sallam tentang FADHA ILUL A’MAL dan tidak menyangkut hukum dan tidak marfu’ (tidak disandarkan kepada beliau shalallahuu alaihi wa sallam ) KAMI PERMUDAH di dalam (memeriksa) sanad-sanadntya. (shahih riwayat Imam Al Khatib al Bhagdhadi dikitabnya al kifaayah fi ilmir riwaayah hal 134)

Perkataan Imam Ahmad diatas diriwayatkan juga oleh Imam-imam yang lain (banyak sekali) tetapi tanpa tambahan : dan yang tidak marfu . Maksudnya : Riwayat-riwayat mauquf (yakni perkataan dan perbuatan
shahabat) atau riwayat-rwayat dari tabi’in dan atha’ut taabi’in. Kebanyakan dari mereka dalam memahami perkataan Imam Ahmad diatas, bahwa BELIAU MEMBOLEHKAN mengamalkan hadist-hadist dha’if untuk fadha ilul a’mal !!

Jelas sekali , pemahaman diatas keliru bila ditinjau dari beberapa sudut ilmiah, diantaranyaa ialah :” bahwa yang dimaksud oleh Imam Ahmad bin Hambal dengan tasahul (bermudah-mudah) dalam fadha ilul
a’mal ialah hadist-hadist yang DERAJATNYA HASAN (bukan hadist-hadist dha’if meskipun ringan kelemahannya). Karena , hadist pada zaman beliau dan sebelumnya tidak terbagi kecuali menjadi 2 bagian : SHAHIH dan DHA’IF.

SEDANGKAN HADIST DHA’IF TERBAGI PULA MENJADI 2 BAGIAN

PERTAMA : hadist-hadist dha’if yang ditinggalkan , yakni tidak dapat diamalkan atau dijadikan hujjah.
KEDUA : Hadist-hadist dha’if yang dipakai, yakni dapat diamalkan atau dijadikan hujjah .
Yang terakhir ini kemudian dimasyhurkan dan ditetapkan sebagai salah satu bagian dari derajat hadist oleh Imam Tirmidzi dengan istilah HADIST HASAN. Jadi , Imam Tirmidzi yang PERTAMA KALI membagi derajat
hadist menjadi bagian : SHAHIH , HASAN dan DHA’IF.

Demikianlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qoyyim dan para ulama lainnya.

KEDUA

Menjelaskan kesalahan mereka yang TIDAK PERNAH memenuhi syarat-syarat yang telah dibuat oleh sebagian ulama dalam mengamalkan hadist dha’if untuk fadha ilul a’mal atau targhib dan tarhib.
Ketahuilah !! Sesungguhnya ulama-ulama kita yang TELAH MEMBOLEHKAN beramal dengan hadist-hadist dha’if di atas , telah membuat BEBERAPA PERSYARATAN yang SANGAT BERAT dan KETAT.

Persayaratan tsb tidak akan dapat dipenuhi kecuali oleh mereka (ulama) yang membuatnya atau ulama-ulama yang memiliki kemampuan sangat tinggi dalam ilmu hadistnya (para muhadist).

Dibawah ini saya turunkan sejumlah persyaratan yang telah dibuat oleh para ulama kita Kemudian , saya iringi dengan beberapa keterangan yang sangat berfaedah. Insya Allahau ta’ala.

1. Syarat pertama

Hadist tersebut khusus untuk fadhailul amal atau targhib dan tarhib. Tidak boleh untuk aqidah atau ahkam (spt hukum halal, haram ,wajib, sunat , makruh) atau tafsir Qur’an. Jadi , seorang yang akan membawakan hadist-hadist dho’if , terlebih dahulu HARUS MENGETAHUI mana hadist dha’if yang MASUK bagian fadha ilul a’mal dan mana hadist dha’if yang masuk bagian aqidah atau ahkam.

Tentu saja persyaratan pertama ini CUKUP BERAT dan tidak sembarang orang dapat mengetahui perbedaan hadist-hadist dha’if diatas kecuali mereka YANG BENAR-BENAR AHLI HADIST.

Kenyataannya, kebanyakan dari mereka (khususnya kaum KHUTOBAA’- para penceramah / khotib) tidak mampu dan telah melanggar persyaratan pertama ini.

Berapa banyak hadist-hadist dho’if tentang aqidah dan ahkam yang mereka sebarkan melaului mimbar-mimbar dan tulisan-tulisan.!!!!

2. Syarat kedua

Hadist tersebut TIDAK SANGAT DHOIF apalagi MAUDHU’ , BATIL , MUNGKAR dan Hadist-hadist yang TIDAK ADA ASALNYA.

Yakni, yang boleh dibawakan hanyalah hadist-hadist yang ringan (kelemahannya). Persyaratan kedua ini LEBIH BERAT dan SULIT dibandingkan dengan syarat yang pertama. Karena, untuk mengetahui suatu hadist itu derajatnya SHAHIH , HASAN, DHA’IF ringan , sangat DHA’IF , dst.

Bukanlah pekerjaan yang mudah sebagaimana telah dimaklumi oleh mereka yang faham betul dengan ilmu yang mulia ini. Pekerjaan tsb merupakan yang sangat berat sekali yang hanya dapat dikerjakan oleh para AHLI HADIST yang benar-benar ahli. Dan persyaratan kedua inipun DILANGGAR besar-besaran . Berapa banyak hadist yang batil dan mungkar , sangat dha’if , maudhu’ ,dan tidakada asalnya yg mereka sebarkan dengan lisan maupun tulisan.

Anehnya orang-orang jahil ini kalau dinasehati oleh ahli ilmu dengan cepat mereka menjawab :”Dibolehkan untuk Fadha ilul a’mal”. Lihatlah betapa sempurnanya kejahilan mereka !!!

3. Syarat ketiga

Hadist tsb TIDAK BOLEH DI-I’TIQODKAN (diyakini) sebagai sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam sebab bisa terkena ancaman beliau : yakni berdusta atas nama beliau. (Dapat dibaca tulisan saya : Ancaman
berdusta atas nama Nabi Shalallahu alaihi wa sallam). Persyaratan ketiga ini SAMA SEKALI tidak dapat dipenuhi, yang membawakan dan mendengarkan betul-betul MENYAKINI sebagai sabda Nabi shalallahu
alaihi wa sallam

4. Syarat keempat

Hadist tsb harus mempunyai dasar yang umum dari hadist yang shahih .
Persyaratan yang ke-4 ini selain susah dan lagi-lagi mereka tidak dapat memenuhinya, juga apabila TELAH ADA hadist yang shahih untuk apalagi segala macam hadist-hadist yang dha’if.

5. Syarat ke-5

Hadist tsb TIDAK BOLEH DIMASYHURKAN (DIPOPULERKAN).

Menurut Imam ibnu Hajar rahimahulllah , apabila hadist-hadist dha’if itu dipopulerkan, niscaya akan terkena ancaman berdusta atas nama nabi Shalallahu alaihi wa sallam.

Lihatlah ! Ramai-ramai mereka menyebarkan dan mempopulerkan hadist-hadist dha’if , sangat dha’if , bahkan maudhu’ sehingga umat lebih mengenal hadist-hadist tsb daripada hadist shahih. Innalillahi
wa inna ilahi rooji’un !! Alangkah terkenanya mereka dengan ancaman nabi Shalallahu alaihi wa sallam.

6. Syarat ke-6

Wajib memberikan bayan (PENJELASAN) bahwa hadist tersebut dha’if saat menyampaikan atau membawakannya. Kalau tidak , niscaya mereka terkena kepada kepada ancaman menyembunyikan ilmu dan masuk ke dalam ancaman Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :

” Ancaman berdusta atas nama Nabi Shalallahu alaihi wa sallam”.

Demikian ketetapan para muhaqiq dari ahli hadist dan ulama ushul sebagaimana diterangkan oleh Abu Syaamah (baca Tamaamul minnah : Al Bani hal :32)

Inilah hukum orang yang “diam”, tidak menjelaskan hadist-hadist dha’if yang ia bawakan untuk fadhailul a’mal. Maka bagaimana dengan orang yang “diam” terhadap riwayat-riwayat yang bathil , sangat dha’if, atau maudhu untuk fadhailul a’mal ??? Benarlah para ulama kita – rahimahumullah- bahwa mereka terkena ancaman menyembunyikan ilmu dan berdusta atas nama nabi shalallahu alaihi wa sallam.

7. Syarat ke-7

Dalam membawakannya TIDAK BOLEH menggunakan lafadz-lafadz jazm (yang menetapkan) seperti :”Nabi shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda atau mengerjakan sesuatu atau memerintahkan dan melarang dan lain-lain yang menunjukkan ketetapan atau kepastian bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa sallam BENAR-BENAR bersabda dst.

Tetapi wajib menggunakan lafadz TAMRIDH (yaitu lafadz yang TIDAK MENUNJUKKAN sebagai sesuatu ketetapan) , seperti : Telah diriwayatkan dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam dan yang serupa dengannya dari lafadz tamridh sebagaimana telah dijelaskan oleh imam Nawawi dalam muqoddimah kitabnya al majmu’syarah muhadzdzab (1/107) dan para ulama lainnya.

Persyaratannya yang terakhir ini , selain mereka tidak memiliki kemampuan , juga tidak bisa dipakai lagi pada jaman kita sekarang (dimana ilmu hadist sangat gharib / asing sekali).

Karena kebanyakan dari ahli ilmu sendiri (kecuali ahli hadist) teristimewa kaum khutobaa / para khatib dan orang awam tidak dapat membedakan antara lafadz jazm dan tamridh.

Dikutip dari risalah :
Berhati-Hati Dalam Meriwayatkan Hadist Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam
Dan Beberapa Kesalahan Dalam Meriwayatkan Dan Hukum Meriwayatkan Dan
Mengamalkan Hadist-Hadist Dhaif Untuk Fadhaa-Ilul A’mal , Tagrib Dan
Tarhib Dan Lain-Lain

Wabillahi Taufik Wal’Hidayah Wal’inayah Wassallamualaikum Warahmatullahi Wa’baraakatuh Wa’maghfirah