SANG KHALIFAH SI PEMERAH SUSU KAMBING


Bismillahir Rahmanir Rahiim

Sejarah manusia mengenal dengan baik si pemerah susu. Walaupun bukan sesuatu yang istimewa untuk dikemukakan. Karena yang bisa memerah susu, hampir semua orang yang memelihara sapi perahan atau kambing perahan, atau juga unta perahan.

Dalam kisah ini yang istimewa adalah seorang khalifah. Hanya seorang. Karena julukan ini diucapkan oleh seorang anak kecil kepada seorang Kahlifah Rasyidin yang terkenal kewibawaannya, jiwa sosial dan sifat kerakyatannya. Ia adalah seorang negarawan.

Tempaan langung, sebagai hasil didikan dan kedekatannya dengan Nabi SAW, Kasih sayang yang diterimanya, kecintaannya sendiri kepada Rasulullah SAW, karena ia adalah manusia pertama, yang membenarkan semua yang diucapkan dan disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW .

Ia adalah sang pembebas manusia dari perbudakan. Ketika Bilal berada dalam cemeti dan siksaan yang tak tertahankan dari kaum Quraisy karena melawan tradisi perbudakan, Khalifah ini tampil penuh keberanian, kebesaran jiwa, dan sikap memihak kepada hak-hak azasi manusia, ia membebaskan Bilal, yang kemudian di gelar muazzin ar Rasul.

Mereka Yang Datang Senantiasa.

Orang-orang yang datang kepada mereka, senantiasa tidak lain adalah kaum dhu’fa’ pemikul tanggungjawab pertama agama ini. Batu fondasi pemikul amanah Allah SWT untuk agama-Nya. Mereka yang datang senantiasa memikul perlindungan dan berharapkan tetesan ajaran murni dari Tuhan pengatur segala sesuatu yang tidak dapat diatur oleh manusia. Pemberi sesuatu yang tak dapat diharapkan dari manusia. Mereka kaum lemah yang meminta perhatian dan tali kasih. Ikut merasakan apa yang dirasakan dan menikmati kebersamaan di antara mereka. Karakter ini ada dalam hidup para Khalifah, sepeninggal panutan mereka Rasulullah Muhammad SAW .

Ketika sang Khalifah di sambut oleh sebuah keluarga, seorang anak datang menyongsong di depan pintu. Si anak berteriak kepada Ibunya: “Ibu, lihat siapa yang datang, dia adalah si pemerah susu kambing kita.!” Karena memang yang sedang berada di depan si anak, menurut pengetahuannya yang terbatas, adalah sesosok mannusia yang pernah membantu ibunya memerah susu kambing di rumah mereka.

Ibunya serta merta memasuki halaman depan rumah. Ia terkejut melihat seorang yang tegap kokoh berwajah putih bersih, matanya yang tajam terbungkus oleh keningnya yang bening. Ia terdiam sejenak, karena ternyata yang sudah berada didepannya adalah manusia utama yang sudah pernah datang menjumpainya, dan menjumpai janda-janda tua yang suamniya gugur dalam perang, mengunjungi anak-anak yatim, mendatangi kaum dhu’afa’, siapakah dia ? tiak tidak lain adalah Khalifah Rasyidin Abu Bakar Ash Shiddiq RA.

Sambil berucap Ibu tersebut memohon maaf kepada khalifah, atas kelancangan ucapan anaknya. “Tidak mengapa kata Khalifah. Biarkan ia memberi nama kepadaku, sesuatu yang aku sukai, karena nama itu disukai oleh Allah SWT, dari apa yang telah aku kerjakan.”

Abu Bakar memang dicintai Nabi karena ia sendiri sejak awal telah menyatakan kesetiannya. Ketika kaum Quraisy membantah semua yang dida’wahkan oleh Nabi SAW, Abu Bakar tidak pernah ragu. Semua yang telah diajarkan oleh Muhammad SAW, tidak ada yang dibantahnya. Ia bahkan mengimani seluruh perkataan dan perbuatan Muhammad, walaupun akalnya tidak mampu memikirkannya. Seperti sambutan Abu Bakar Ash Shiddiq, ketika mendengar kisah perjalanan isra’ mi’raj. Ditanyakan kepadanya tentang kebenaran kisah tersebut. Apa jawab Abu Bakar: (Wa In Kana Muhammadun Qad Qal, Laqad Shadaqta) = “Apabila begitu yang diucapkan Muhammad SAW, sungguh aku membenarkan.”

Mencari Tuhan Ibrahim

Berbeda dengan tokoh-tokoh Quraisy lainnya. Sejak lama Abu Bakar sudah tidak percaya kepada Tuhan-tuhan dan berhala-berhala Quraisy. Ia seperti juga nenek moyang dan beberapa pemuka Quraisy lainnya, masih tetap percaya kepada Tauhid Ibrahim as.

Lama mereka itu merenung aqidah yang bertentangan dengan Tauhid Nabi Ibrahim, yang walaupun sedikit pernah di dengar dari nenek moyang mereka selain tokoh-tokoh Quraiy yang menciptakan agama berhala, yang di bela mati-matian oleh Abu Jahal, Abu Lahab dan tokoh Quraisy lainnya termasik kakek dan paman-paman Nabi Muhammad sendiri.

Dalam hati sanubari Abu Bakar dan kawan-kawannya yang masih sadar, timbul pertanyaan: “Mengapa manusia yang dapat berpikir, melihat dan mendengar, begeitu mudah tersungkur sujud dihadapan batu-batuan yang jelas tidak dapat mendengar ,tidak dapat melihat, apalagi berpikir ?” Mereka selalu mengulangi pesan salah satu nenek mereka: “Manakah yang benar, apakah Tuhan yang satu, atau Tuhan yang beribu-ribu ? Apakah boleh di sebut agama, bila Sang Pengaturnya terpecah dalam bentuk yang susah diimani ?”

Pertanyaan seperti itu bertahun tahun mengiang di telinga Abu Bakar yang masih remaja berserta kawan-kawannya yang suka berpikir tentang ke Tuhanan.

Mereka selalu mendatangi para sesepuh yang dengan diam-diam masih menyimpan Kitab dari Shuhuf Ibrahim as, dan menerima pelajaran dengan cara rahasia dari guru-guru dan pendeta Al Kitab, sesuai dengan apa yang sedang mereka cari tentang Tuhan yang sebenarnya. Seperti juga nenek mereka Nabi Ibrahim as, yang menemukan Rabbnya dalam pencaharian yang cukup lama.

Abu Bakar sangat senang, dan menampakkan kegembiraan di wajahnya apabila selesai menerima wejangan tentang Rabb yang sebenarnya, seperti yang diajarkan oleh Ibrahim as. Ia menengadahkan wajahnya ke langit, sambil mengucapkan puja dan puji syukur, karena kekuasaan langit seisinya telah menunjukkan untuknya Rabbul’alamin yang sedang di cari-carinya. Rabbku kata Ibrahim kepada Namruz adalah yang menghidupkan dan mematikan. Namruz kembali menantang, “Aku adalah Tuhan yang bisa menghidupkan dan mematikan. Aku dapat membiarkan orang hidup dan juga dapat mematikan (membunuh) siapa saja.”

Ibrahim kembali mengucapkan: “Tuhanku yang menerbitkan matahari dari timur ke barat, Apakah engkau dapat menerbitkan matahari itu dari barat ke timur?” Sampai di sini Raja Namruz membisu seribu kata, tidak dapat menjawab pertanyaan Nabi Ibrahim as. Yang dijumpai Ibrahim as, pada masa hidupnya adalah Tuhan-tuhan berhala, bukan konsep Tauhid Ibrahim, nenek bani Israil dan bani Ismail.

Oleh karena itu pertanyaan dalam hati mereka tetap saja timbul was-was dan keraguan. Manakah Tuhan sebenarnya yang harus mereka yakini keberadaannya dalam hidup ini. Karena bagi Abu Bakar dan teman-temannya, hidup haruslah berkeyakinan.

Yakin dan ragu tetap menyelimuti hati mereka, sehingga sampai masa datangnya janji Injil dan Taurat terkuak dalam sejarah bangsa Arab dan penduduk Mekkah. Karena antara masa Abu Bakar mencari Rabb yang hakiki sesuai dengan konsep Tauhid Ibrahim as, dengan masa janji Kitab-kitab suci dan shuhuf Ibrahim sendiri, Musa dan ‘Isa, as. tidak terlalu lama. Abu Bakar berada pada masa ketika janji itu tiba pada zamannya.

Bulan Bertengger di Rumah Abu Bakar.

Abu Bakar tidak puas menjelajahi dan menyelusuri perjalanan Tauhid neneknya Ibrahim as. Di kota Mekkah sendiri, sudah semua sesepuh Mekkah yang masih mempertahankan Tauhid Ibrahim as, yang didatanginya. dan menyerap pengetahuan Tauhid mereka. Ia bepergian jauh sampai ke Siria, menjumpai beberapa Rahib Taurat dan Injil yang masih bertahan meyakini Tauhid Ibrahim as. Cukup lama Abu Bakar di Siria. Karena ia berkeliling menjumpai tokoh-tokoh ahli Kitab.

Beberapa hari sebelum kepulangannya ke kota Mekkah, ia bermimpi. Ia melihat rembulan bergeser meninggalkan tempat bertenggernya, bergeser masuk ke kota Mekkah. Cahayanya memantul jauh hingga ke ufuk-ufuk terpencil dan memancarkan sinar lembutnya, di sekitar kota Mekkah. Kemudian bulan itu terpecah berkeping keping memasuki rumah-rumah penduduk. Keping-keping sinar itu utuh kembali, kemudian menempatkan bulan seperti sediakala, lalu bertengger di rumah Abu Bakar As Shiddiq.

Abu Bakar terbangun dari mimpinya ketika fajar sidiq mulai merekah. Karena pagi-pagi ia harus sudah berangkat bersama kafilah yang akan menuju Mekkah.

Sebelumnya ia menemui seorang Rahib yang telah di kenalnya dengan baik. Semua yang terjadi melalui impiannya, diceritakan kepada sang Rahib. Wajah Rahib yang saleh itu, tampak berseri-seri mendengar cerita Abu Bakar, seraya berkata:

Inilah saatnya ia menampakkan diri………………..!’

Siapakah yang tuan maksudkan ? tanya Abu Bakar.” Apakah Nabi yang sedang anda nanti-nantikan itu, telah tiba ?”

Benar, ujar Rahib itu. Andalah yang akan beriman kepadanya tanpa ragu, mencintainya dan selalu berada di sampingnya, serta berbahagia dengan keberadaannya.”

Apa yang di lihat Abu Bakar dalam mimpinya, bukan sekadar kembang-kembng tidur. Namun benar-benar suatu penglihatan yang jujur dan benar. Abu Bakar tidak pernah meyakini kebenaran berhala-berhala Quraisy walau sesaat pun. Tidak pula ia menyatakan permusuhan terhadap sesembahan berhala nenek moyangnya itu. Ia lebih mengutamakan mengamankan keyakinan dalam hatinya, sambil menunggu datangnya Rasul yang dijanjikan. Itulah yang pertama datang dalam mimpinya.

Abu Bakar telah mendapat petunjuk yang benar ( ru’yah shadiqah) dari langit. Karena kebersihan Tauhidnya.

Laqad Shadaqta. (sungguh benar apa yang diucapkannya.)

Bergegas-gegas Abu Bakar berangkat ke Mekkah dari perjalanannya di Siria. Baru saja tiba di pintu gerbang kota Mekkah, orang-orang datang menyambut kedatangannya membawa keluhan dan omongan tentang seseorang yang di sebut telah menyulut api di atas kepala berhala-berhala sesembahan mereka.

Mereka menyebut seorang putera Bani Hasyim, seorang pemuda yang pernah mendapat gelar kepercayaan dari tokoh-tokoh Quraisy, yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dia adalah Al Amin.

Abu Bakar mendengarkan pengaduan teman-temannya dengan serius. Dalam hatinya ia berkata, kalau itu yang dikatakan Muhammad bin Abdullah, sungguh benar ucapannya itu. Kata-kata itu tidak dilahirkan pada lisannya, hanya ucapan hatinya sendiri. Ia telah mengenal Muhammad bin Abdullah melebihi dirinya sendiri. Sejak kanak-kanak, remaja sampai usianya mencapai empat puluh tahun di saat ia mendengar berita itu. Usia Abu Bakar dengan Muhammad tidak jauh berbeda. Keduanya adalah teman sepergaulan yang selalu jadi ikutan dan teladan.

Ketika tokoh-tokoh Quraisy membincangkan apa yang telah dikemukan Muhammad tentang berhala-berhala Quraisy, Abu Bakar sudah membenarkan dalam hatinya.

Ketika tokoh-tokoh Quraisy mengulangi kembali apa yang diucapkan Muhammad tentang apa yang telah diterimanya dari langit, Abu Bakar telah menyambut ucapan itu dengan suaranya yang jelas. Wa In Kana Qad Qal, Laqad Shadaqta.. Seruannya hanya satu. “Tinggalkan berhala-berhala itu dan sembahlah hanya kepada Allah Pencipta alam semesta. Dia yang Maha Hidup dan Maha pengatur.”

Abu Bakar cepat menangkap anjuran dan seruan Muhammad. Karena ia telah memahami sebelumnya dalam pencahariannya akan agama Tauhid Ibrahim as.

Ia tidak ingin pendengarannya salah dari omongan dan ucapan tokoh-tokoh Quraisy. Ia ingin langsung mendengar dari lidah seorang yang dianggapnya, tidak akan salah mengucapkan kata-kata yang sama.

Secepatnya ia berangkat ke rumah Muhammad yang pada waktu itu sudah bersama isterinya Khadijah. Keduanya berjumpa dan berdialog sebagai sahabat lama yang telah saling memahami.

Abu Bakar bertanya kepada Muhammad SAW: “Apakah benar apa yang telah saya dengar dari mereka wahai sahabatku ?”

Nabi SAW bertanya: “Apa yang sudah engkau dengar dari mereka?”

Abu Bakar menjelaskan: “ Mereka telah menyampaikan kepada orang banyak bahwa engkau telah di utus Allah SWT kepada kami, agar hanya menyembah kepadaNya, tidak mempersekutukannya.”

Apa jawaban anda wahai Abu Bakar, ketika mengetahui hal itu ? tanya Muhammad SAW.”

Abu Bakar serta merta menjawab: Aku katakan kepada mereka: “Jika itu kata Muhammad maka sungguh benarlah ucapannya.”

Rasulullah sangat terharu dan bergembira medengar jawaban sahabatnya itu. Dipeluknya Abu Bakar dan duciumnya kening sahabatnya itu. Diceritakan nya kembali peristiwa turunnya wahyu di gua Hira’. Mendengar itu Abu Bakar ikut terharu sambil mengeratkan pelukannya lagi kepada Rasulullah.

Sekarang inilah Abu Bakar telah menemukan apa yang dicarinya selama ini. Telah datang seorang utusan dari bangsanya sendiri. Apa yang telah ia dengar dari para sesepuh sebelumnya dan yang dipelajarinya dari para Rahib dan Pendeta Nasara di Siria. Membenarkan semua janji yang tersebut dalam Shuhuf Ibrahim, Musa dan Isa.

Abu Bakar tidak ragu-ragu lagi. Pada saat itu pula ia mengikrarkan diri mengucapkan syahadat dihadapan Muhammad SAW . Kalimat persaksian Abu Bakar itu berbunyi: “Saya beraksi, engkau adalah manusia yang benar dan terpercaya. Dan saya bersaksi bahwa tiak ada sesembahan selain Allah SWT, dan saya bersaksi pula bahwa Muhammad adalah utusan Allah .“

Ikrar Abu Bakar ini berkumandang ke seluruh pelosok Mekkah. Di dengar oleh tokoh-tokoh Quraisy, baik yang bersimpati kepada seruan Muhammad maupun yang antipati kepada seruan tersebut.

Pada kunjungan berikutnya Abu Bakar datang tidak lagi sendirian. Ia diikuti oleh beberapa orang tokoh Quraisy yang terkenal. Dianatarnya adalah Utsman bin Affan, Zubeir bin Awwam, Abdur Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, dan Thalhah bin Ubaidillah.

Mereka adalah tokoh-tokoh yang kelak menjadi soko guru Dinul Islam dan sahabat-sahabat terkemuka. Mereka menjadi berkah pertama dengan Islamnya Abu Bakar. Gelombang manusia yang mengikuti jejak Abu Bakar sesudah itu makin besar, dan semakin bertambah besar, bagaikan badai yang tidak dapat tertahan oleh rintangan apa pun. Namun tangtangan yang menghadang mereka menuju Islam juga semakin jelas. Terutama dari tokoh-tokoh Quraisy sendiri, seperti Abu jahal, Abu Lahab, Abu Sofyan dan masih banyak lagi.

Setiap langkah Abu Bakar dan teman-temannya selalu diikuti oleh tokoh-tokoh Quraisy. Hubungan antara Muhammad SAW dengan pendukungnya selalu di potong dan ditumbuhkan antipati dan konflik. Namun Abu Bakar sudah kokoh pendidirian dan keyakinannya. Apa yang diucapkan Muhammad SAW adalah benar dan itulah yang sesungguhnya. Iman Abu Bakar kepada semua yang diucapkan Nabi SAW, serta keyakinannya kepada ajaran Islam,

adalah kekuatan dahsyat yang tidak seorang pun mampu melenyapkan dari dalam hatinya. Benteng Abu bakar yang paling kokoh adalah iman dan keyakinannya kepada ke Rasulan Muhammad SAW . Itulah benteng yang tidak dapat di tembus oleh kaum musyrikin Quraisy. Sampai kepada tingkat yang paling meragukan masyarakat Quraisy, keyakinan Abu Bakar kepada Rasulullah tidak pernah goyah. Hingga datanglah berita pada suatu hari.

Rasulullah SAW sedang duduk-duduk di dekat Ka’bah sambil menengadakan wajahnya ke langit. Tokoh-tokoh Quraisy yang melwati Ka,bah mendekati beliau seraya bertanya: “Apa yang engkau pikirkan wahai Muhammad ?”, Serta merta Rasulullah SAW menjawab: “Aku baru saja pulang dari Palestina mengunjungi Masjid Al Aqsha, lalu naik ke langit sampai ke ‘Arsy Allah SWT, dalam satu malam perjalanan”. Peristiwa besar ini bukannya mengagumkan tokoh-tokoh Quraisy, karena hanya dengan perjalanan satu malam, Muhammad telah kembali ke Mekkah pada pagi harinya. Akan tetapi peristiwa ini menjadi alat olok-olok mereka untuk melemahkan keimanan para pengikut Islam. Padahal apa yang di lihat oleh Rasulullah SAW, telah disampaikan seluruhnya seperti keadaan sebenarnya. Mereka yang pernah mengunjungi Masjid Aqsha tidak membantah apa yang di lihat Muhammad SAW, karena sudah cocok dengan keadaan sebenarnya. Namun karena maksud kaum Quraisy ingin melemahkan keimanan pengikut-pengikut Islam. Mereka mengingkari kebenaran tersebut.

Sampailah berita ini kepada Abu Bakar As Shiddiq, Seperti biasanya Abu Bakar tetap membenarkan semua yang datang dari Rasulullah SAW, Kalimatnya tetap saja, sejak penjumpaan pertama. “Apabila sungguh itu ucapan Muhammad SAW, aku membenarkannya.”

Saya Bukan Yang Terbaik.

Ketika dinobatkan menjadi khalifah yang pertama, Abu Bakar As Shiddiq menyampaikan khutbah pembaiatannya melalui mimbar Rasulullah SAW di Masjid Nabawi Medinah. Ia duduk pada anak tangga di bawah tempat duduk yang biasa diduduki Nabi Muhammad SAW . Ia merasa tidak pantas (walau pun saat itu, telah menjadi Kahlifah pengganti Nabi Muhammad SAW) untuk duduk pada tempat yang biasanya orang yang mulia itu menempatkan dirinya di atas mimbar. Abu Bakar As Shiddiq menyampaikan khutbah penobatannya, sebagai berikut: “ Wahai kaum Muslimin ! kalian telah kalian telah memilih saya menjadi pemimpin. Bukan berarti bahwa saya adalah yang terbaik di antara kalian. Jika menurut anggapan kalian saya benar, maka bantulah dan ikutilah saya. Demikian juga jika saya salah tegur dan luruskanlah saya !

Ingatlah ! Orang-orang lemah di antara kalian akan menjadi kuat dihadapanku karena saya akan memberikan hak-hak yang menjadi miliknya.. Orang yang kuat akan menjadi lemah dihadapanku, karena saya akan mengambil sesuatu yang bukan hak dan bukan miliknya.

Taatilah saya, selama saya mentaati Allah SWT dan rasulNya. Jika saya tidak mentaati Allah SWT dan RasulNya, maka tidak wajib i kalian menaati saya.”

Saya telah di angkat menjadi pemimpin kalian, tetapi saya

bukanlah yang terbaik di antara kalian.”

Kalimat ini adalah awal dari pemerintahan Abu Bakar, pemerintahan yang bersih dari intrik-intrik yang akan menggodanya, seperti umumnya para penguasa yang tamak. Ia ingin menanamkan dalam pikiran ummat Islam bahwa kekuasaan bukanlah suatu keistimewaan, melainkan pelayanan bagi ummat. Pemimpin suatu negara adalah pelayannya ummat yang tidak mustahil sebagian besar dari kekuasaan dan pemerintahan akan menjumpai kesulitan, kesusahan ya ng padanya ada tanggungjawab. Ia bermaksud menegaskan kepada ummat, bahwasanya kekuasaan bukanlah suatu kehomatan yang perlu diagung-agungkan, melainkan tugas dan kewajiban.

Itulah Abu Bakar yang layak baginya ucapan tersebut. Meyakinkan bagi ummat Islam akan persiapannya memimpin sebagai pelayan ummat. Abu Bakar mengisyaratkan agar ummat menjadi pembantu baginya dalam melaksanakan pememerintahan. Bukan sebagai pengekor dan hanya membenarkan apa yang dikerjakannya. Ummat wajib menegurnya dan meluruskannya apabila pekerjaannya tidak sesuai dengasn tuntunan Islam.

Abu Bakar As Shiddiq yang membenarkan semua ucapan dan da’wah Rasulullah SAW, maka ia mendapat gelar Shiddiq. Ketika ia dibai’at menjadi Khalifah, tugas tersebut tidak diinginkannya dan tidak diharapkannya. Jika saja saat itu bukan situasi yang sangat genting bagi ummat Islam karena kepergian dan wafatnya Rasulullah SAW, maka Abu Bakar tentu akan pergi jauh memencilkan diri, agar ia tidak ditetapkan sebagai Khalifah. Seperti ucapannya sendiri: ‘Demi Allah SWT, tak pernah saya bermimpi untuk menjadi pemimpin ummat, walau sehari atau semalam pun. Dan tak pernah saya memintanya kepada Allah SWT, baik secara sembunyi-sembunyi mau pun secara terang-terangan. Kalau bukan karena tanggungjawab yang diberikan kepadaku, maka aku lebih suka menagnggalkan jabatan itu dan pergi kemana saja sesuka kakiku menapak.”

Dialog Dengan Puteri Rasulullah.

Sejarah mengenal Abu Bakar sebagai sahabat utama yang paling dekat dengan Rasulullah. Ia mengenal Nabi SAW dengan baik dan sebaliknya Rasulullah SAW mengenal Abu Bakar dengan baik pula. Sejarah sangat mengenal puteri Rasulullah SAW satu-satunya yang masih hidup sepanjang hayat Nabi Muhammad SAW, yang sempat belajar dan mendengar penjeasan langsung tentang ajaran Islam dari Nabi SAW. Selain itu, Sayyidah Fatimah adalah suami dari sahabat terkemuka, Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan Babul ‘Ilm ( gerbang ilmu).

Pada suatu hari datanglah sayyidah Fatimah menghadap Khalifah Abu Bakar RA. di dampingi oleh paman Nabi SAW yang bernama Abbas, untuk menanyakan perihal tanah ghanimah di Medinah. Tanah tersebut pernah di hibahkan kepada Sayyidah Fatimah oleh Rasululah SAW. Hasil dari tanah tersebut diberikan kepada puterinya tersebut, dan beberapa orang dari keluarga beliau yang tidak mampu dan para sahabat yang miskin. Setelah wafat Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah menuntut agar tanah tersebut dapat dimanfaatkan sebagaimana Rasulullah SAW telah melaksnakannya.

Sayyidah Fatimah menganggap tanah itu sekarang merupakan warisan dari Ayahandanya.

Maka terjadilah dialog sebagai berikut:

Wahai Khalifah ! bukankah tanah tersebut adalah peninggalan Rasululah untuk kami ? Artinya ia menjadi warisan bagi kami keluarga beliau.

Khalifah Abu Bakar mendengar ucapan yang mengandung harapan dari Sayyidfah Fatimah RA dengan penuh perhatian. Satu persatu kalimat yang keluar dari lisan suci puteri Nabi SAW itu di dengarnya dengan cermat. Abu Bakar sangat prihatin akan keadaan puteri kesayangan Rasulullah SAW. Karena baginya Fatimah adalah manusia pertama yang wajib diperhatikan. Karena ia maklum betapa Rasulullah SAW, memperhatikan dan mencintai puterinya itu. Ia juga memaklumi betapa Sayyidah Fatimah dan keluarganya membutuhkan sebidang tanah, setelah wafatnya Nabi SAW.

Khalifah merasa menjadi beban berat, apabila ia menolak permohonan Sayyidah Fatimah, dengan menagtakan tidak.

Sayyidah Fatimah RA, mengingatkan Khalifah, bahwa ketika hayatnya Rasulullah SAW, keluarganya telah mendapatkan bagian dari hasil tanah tesebut. Sebagian lagi diberikan kepada sahabat-sahabat yang miskin dan anak yatim.

Khalifah dengan penuh kasih sayang, akhirnya memberi penjelasan tentang status tanah tersebut. Ia mengakui, bahwa Rasulullah SAW telah memberi bagian dari hasil tanah itu kepada Fatimah dan keluarganya, namun ujar Khalifah: Ketahuilah oleh kalian bahwasanya Nabi SAW telah bersabda: “Kami golongan Nabi-nabi tidaklah mewariskan. Apa-apa yang kami tinggalkan jatuh menjadi sedekah.”

Mendengar penolakan Khalifah Abu Bakar, Sayyidah Fatimah RA, berucap:

Anda tentu sudah mengetahui bahwasanya tanah tersebut telah dihibahkan Rasulullah SAW kepada saya dii waktu hidpnya, sehingga dengan demikian tanah itu adalah milik saya dengan jalan hibah, bukan sebagai warisan “.

Dengan penuh kelembutan dan kasih sayang Khalifah menjawab: “Benar ujar Khalifah. Namun saya juga melihat beliau membagikan kepada fakir miskin dan musafir, setelah memberikan kepada kalian secukupnya.. Ini berarti Rasulullah SAW menghendaki agar dari tanah itu tetap haknya bagi fakir miskin.

Sayyidah Fatimah dengan suaranya lesu menjelaskankan : “Bukankah dengan beradanya tanah tersebut pada kami, akan tetap hak-hak fakir miskin akan kami berikan ? Seperti yang dilaksanakan di tangan Rasulullah SAW ?

Khalifah berkata: “Saya kurang setuju dengan cara seperti itu. Sedangkan saya adalah pemimpin orang mukmin setelah Rasulullah SAW. Sehingga lebih berhak menentukan kedudukan hukumnya. Karena saya akan mendudukkan hukumnya seperti pesan Nabi SAW.”

Di sisni Khalifah Abu Bakar menghadapi pertarungan hebat di benaknya. Antara mengikuti kemamaun puteri Rasulullah yang sangat dihormatinya dan hukum yang telah di pesankan oleh Rasulullah SAW sendiri yang wajib dijunjung tingginya..

Mengusung Dagangan di Pundaknya.

Berdagang bukan pekerjaan baru bagi Abu Bakar. Sudah sejak muda remaja, ia berniaga. Hasilnya adalah kesuksesan dalam bidang ini dapat diketahui oleh sahabat dan handai tolannya. Dari keluarga yang di kenal memiliki jiwa dagang, Abu Bakar dibesarkan. Ketika telah di angkat menjadi Khalifah jiwa tersebut tidak pernah kendor. Hingga pada suatu hari ketika kekhalifahan Islam telah ditangannya, beliau berangkat ke pasar sambil memikul barang dagangan di pundaknya. Di tengah jalan Khalifah yang saleh itu berpapasan dengan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah.

Kedua sahabat ini terheran-heran melihat Khalifah memabawa sesuatu dipundaknya sambil menyapa: “Hendak kemana kiranya wahai Khalifah Rasulullah, dengan membawa beban di pundak ?”

Ke pasar ! “ ujar Khalifah Abu Bakar, dengan suara tegas.

Sahabat Umar tersentak ketika mendengar ucapan Khalifah, seraya bertanya:

Apa yang akan anda kerjakan di pasar , wahalai Khalifah ? padahal anda telah mendapat tugas sebagai pimpinan tertinggi ummat ini ?”

Mendengar ucapan Umar itu, Khalifah bertanya: “Darimana saya mendapatkan nafkah untuk hidup bersama keluargaku ?”

Serta merta sahabat Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah tersentak dari kelalaiannya seraya berucap dengan lemah lembut kepada Khalifah: “ Ikutilah kami ke Baitul Mal. Kami akan mengambil bagian sebagai hakmu, walaupun tidak mencukupi, agar tdak menyita waktu bagi tugas-tugasmu yang berat.” Para sahabat bersidang untuk menentukan bagian dari Baitul Mal bagi hak-hak Khalifah. Akhirnya ditetapkan bagian Khalifah yang di ambil dari Baitul Mal. Ketetapan itu dengan memberikan bagian Khalifah seharga setengah ekor domba tiap hari, dan 250 dinar setahun. Kemudian dinaikkan menjadi seekor domba tiap hari dan 300 dinar setahun.

Dengan penghasilan itulah Khalifah menjalankan tugasnya sebagai pemimpin kaum mukminin, diterimanya dengan hati tulus bagi kehidupan keluarganya, hingga datang waktunya negeri Irak dan Siria ditaklukkan oleh Islam. Pada saat itu rizki dari dua negeri yang kaya itu mengalir ke Medinah. Namun Khalifah tidak mememinta bagian yang melebihi apa yang telah ditetapkan oleh persidangan para sahabat.

Yang Tersisa Adalah Allah dan RasulNya.

Sebelum Islam Abu Bakar adalah seorang pemuka Quraisy yang disegani. Ketika datang Islam, Abu Bakar adalah orang terdekat dengan Rasulullah SAW. Ia mendapat penghormatan dari Nabi SAW disampingnya, sehingga tidak ada lagi yang melebihinya.

Tatkala Abu Bakar masuk Islam, ia sedang berada di puncak kekayaan harta saat itu. Bahkan melebihi Umar dan Usman.

Di musim terjadi peperangan dengan kaum Quraisy, terjadilah masa kemarau yang panjang. Makanan dan buah-buahan menyusut hasilnya. Binatang ternak menjadi kurus, karena kesulitan makanan dan air. Di saat yang sangat menentukan nasib perjuangan itu, Nabi Muhammad SAW memanggil para sahabat untuk bersidang. Mencarikan jalan keluar dari musibah yang menimpa kaum muslimin dan para mujahid yang akan berhadapan langsung dengan musuh-musuh Allah .

Setelah menguraikan maksud pertemuan itu dan mencari jalan keluarnya, Umar bin Khattab mengemukakan pendapatnya an menyediakan dana dari separuh hart kekayaannya untuk Islam.

Para sahabat lain yang memiliki harta menyatakan hal yang sama seperti juga Umar. Datanglah giliran Abu Bakar. Dengan tegas ia menyatakan : “Seluruh hartanya dipersembahkan kepada perjuangan Islam.” Rasulullah agak terkejut, walaupun tidak dinampakkannya, ketika menanggapi pernyataan Abu Bakar seraya berucap: ” Lantas apa yang tersisa untukmu dan keluargamu ?” ujar rasulullah SAW. Jawab Abu Bakar dengan tegas: “ Yang tersisa untukku dan keluarga, tidak lain adalah Allah dan Rasul !”

Meskipun di saat kemakmuran telah mengalir masuk ke negeri Islam setelah jatuhnya kekuasan imperium Romawi, Persia dan Siria, namun Abu Bakar sebagai Khalifah Islam tidak terpengaruh oleh harta benda dunia yang mengalir deras melanda negeri Islam waktu itu. Sebagai khalifah ia tidak mengambil bagian dari kekayaan tersebut, dan tidak memperkenankan dirinya hidup bermewah-mewah. Ia menolak tawaran dari baitulmal untuk mendapatkan bagian melebihi apa yang sudah ditentukan oleh persidangan para sahabat. Khalifah berkata: “Mengapa saya harus mendapat lebih banyak dari yang apa yang perlukan ? Apakah saya lebih baik dari orang lain, sehingga perlu mendapatkan yang lebih khusus untuk diri saya ?”

Abu Bakar adalah Khalifah pertama pengganti tugas-tugas da’wah Nabi Muhammad SAW SAW. Ia menetapkan dirinya sebagai manusia yang tidak lebih baik dari manusia lainnya. Maka ia tidak perlu mendapatkan perlakuan khusus dari hal apa dan dari siapa pun. Ia menolak kehendak baik orang-orang yang telah memilihnya untuk mendapatkan bagian dari upah tertentu. Ia menolak pula permintaan fasilitas untuk mereka. Ia lebih suka bersusah payah dengan kekuatan maksimal yang dimilikinya untuk menegakkan amanat ummat daripada pemberian walau pun atas dasar sukarela. Ia tidak suka tampak melebihi ummatnya dalan hidup dan pemilikan. Ia juga tidak suka tampak begitu penting di mata ummat dan menolak pengghormatan yang berlebihan. Ia tidak suka tampak sebagai manusia elit yang gila kehormatan. Karena ia sadar bahwasanya manusia Abu Bakar adalah seorang hamba Allah SWT yang sama dengan lainnya.

Khalifah sangat menjaga ucapan dan lisannya dalam percakapan dan musyawarah di antara para sahabat Rasulullah SAW. Ia pernah terlanjur berbicara kasar terhadap seorang sahabat, dan merasa sahabat tersebut pasti tersinggung. Langsung saja ia memohon maaf dan meminta untuk diqisas dengan ucapan yang sama yang telah dilontarkannya.

Khalifah Yang Mudah Menangis.

Abu Bakaradalah khalifah yang sangat perasa. Air matanya mudah tertumpah. Kesalehannyalah yang menyebabkan ia mudah menangis. Ia sangat kuatir akan dirinya dihadapan Allah SWT Rabbul Izzah dan menempatkannya sebagai manusia kecil yang selalu diperhatikan gerak geriknya, ibadah dan amal perbuatannya.

Asma bin Umeis isteri Khalifah, ketika ditanyakan tentang ibadah yang dilaksanakan suaminya, ia berkata: “Khalifah bangun pagi di waktu dinihari. Dalam udara panas atau dingin tidak ada bedanya. Selalu tepat waktu paginya. Ia berwudhu’ lalu shalat. Keika membaca ayat-ayat Al Qur’an di waktu shalat atau di luar shalat ia selalu terisak- isak dalam tangis. Ketika sujud ia juga terisak-isak, dan berdo’a dalam zikir shalat atau di luar shalat dengan suara terisak-isak dalam tangis. “

Sayyidah ‘Aisyah isteri Rasulullah yang sangat banyak menghafal hadist langsung dari Rasulullah SAW, meriwayatkan tentang Ayahandanya sendiri. Ketika mendapat perintah dari Rasulullah agar menggantikan Rasul mengimami shalat kaum muslimin ketika beliau sedang sakit. ‘Aisyah kurang bekenan agar Ayahandannya menjadi Imam karena sangat perasa, dan selalu menangis ketika membaca ayat-ayat Al Qur’an dalam shalat. Dikuatirkan akan menggangu kekhusyu’an kaum muslimin. Namun Nabi SAW, telah menetapkan hal itu dan tidak boleh di bantah.

Tangisnya Abu Bakar R.A, adalah karena begitu ta’dzimnya beliau kepada Allah SWT , rasa kagum sekaligus rasa takutnya dan sangat berhati-hati melakukan adab beribadah. Ta’dzimnya kepada Al Khaliq memenuhi seluruh rongga dadanya bersama rasa, haru, malu dan rasa takut, kuatir kepada amal ibadahnya, kalau-kalau tidk mendapatkan tempat di sisi Allah SWT. Kesucian jiwa Khalifah baik dihadapan manusia terutama di hadapan Allah SWT adalah bagian yang sanat mempengaruhi pemerintahan Khilafatnya.

Tokoh ini tidak hanya memberikan kewajibannnya kepada ummat, akan tetapi memberikn hak ummat kepada mereka, tidak kurang sedikit pun. Selalu yang paling depan mengerjakan kewajiban dan memberikan hak-hak manusia. Ia memberikan seluruh yang dimilikinya sebagai amanah. Menempatkan seluruhnya sebagai kewajiban dan membnerikan seluruhnya sebagai hak ummat.

Di akhir hayatnya, ia sudah tidak memiliki apa-apa. Orang yang terkaya sebelum menjadi Kahlifah dan orang mulia akhlaknya an tinggi budi bahasanya, adil dan jujur, demokrat dan peduli terhadap kepentingan bangsanya ketika menjadi Khalifah. Ketika wafatnya hanya mewariskan untuk keluarganya seekor keledai pengangkut air. Sebuah tong besar untuk menampung perahan susu. Sehelai baju jubah yang dipakainya hanya ketika menerima duta-duta besar dan tamu-tamu negara.

Sungguh ia adalah khalifah terkenal dan orang besar di zamannya higga hari ini. Dekat dengan Rasulullah saw, menimba langsung ilmu kepemimpinan dan sifat negarawan dari Nabi Mu hammad saw.

Leave a comment