Masalah Zakat

Bismillahir Rahmanir Rahiim

Zakat terbagi menjadi dua jenis. Pertama , zakat yang di tentukan oleh syari’at agama Islam. Kedua, zakat menurut pandangan ahli tariqah.

Zakat yang ditentukan oleh syari’at ialah zakat yang dikeluarkan untuk harta kekayaan yang diperoleh secara halal di dunia, yang berasal dari kelebihan harta dalam keluarga, dan dibagikan kepada mereka yang memerlukan dan asnaf – asnaf zakat. Dan yang berhak menerimanya fakir miskin dan orang orang terlantar lainnya yang membutuhkan.

Zakat dari sudut pandang thariqat ialah sebagian dari harta ruhani yang diperoleh seseorang dan dibagikan kepada mereka yang memerlukannya, yaitu fakir miskin dalam bidang ruhani. Allah Swt berfirman :
“ Sesungguhnya zakat –zakat itu hanyalah untuk orang orang fakir, orang – orang miskin, pengurus – pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan hamba abdi (budak), orang – orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang – orang yang sedang dalam perjalanan,  sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (at – Taubah : 60)

Apa saja yang diberikan dengan tujuan untuk berzakat, pada hakikatnya terlebih dahulu jatuh di “tangan” Allah Swt. Sebelum zakat itu sampai ke tangan penerimanya. Karena itu, sebenarnya zakat diperintahkan kepada kita agar kita membantu fakir miskin karena Allah sendiri adalah Maha Pemberi segala keperluan, termasuk para fakir miskin itu. Tetapi rahasia sebenarnya yang ada dibalik itu, ialah untuk menjadikan niat pemberi zakat itu diterima oleh Allah Swt.

Menghadiahkan Pahala untuk Orang Lain

Mereka yang dekat dengan Allah membagi-bagikan ganjaran ruhaninya, hasil ibadah dan amal salehnya dengan niat untuk menghadiahkan pahala amalan salehnya itu kepada orang–orang yang berdosa. Allah dengan Rahmat-Nya mengampuni dosa-dosa hamba–hamba-Nya yamg berdosa dari hasil pembagian sebagian pahala dan ganjaran yang diperoleh hamba–hamba- Nya yang saleh.

Tegasnya, orang – orang Sufi dalam kategori ini sangat merahmati orang-orang awam yang lalai dan selalu mensia-siakan dirinya. Orang seperti ini berada dalam bahaya yang besar, namun mereka tidak sadar, dan terus hidup dalam kelalaian.

Karena itulah kaum Sufi menaruh iba terhadap orang orang yang berdosa ini, sehingga semua amalan baik dan bakti yang dikerjakannya tidak bertujuan untuk meraih pahala yang banyak untuk dirinya sendiri di hari pembalasan. Bahkan, dia menghadiahkan semua pahalanya untuk orang–orang yang lalai dan berdosa tersebut. Mereka dianggap miskin, tidak mempunyai amalan baik yang akan membentengi mereka dari api neraka dan azab siksa di akhirat. Karena itulah mereka dizakati dari amalan–amalan yang dibuat oleh orang–orang Sufi agar timbangannya nanti menjadi berat.

Orang–orang Sufi ini mengosongkan dirinya dari harta benda keduniaan. Bahkan, semua pahala yang diraih dari amalan–amalan  kebajikannya pun sudah dihadiahkan kepada orang lain. Jadi, mereka tidak lagi memiliki sesuatu apa pun. Ketaatannya di dunia bukan karena harta dan pangkat, melainkan untuk kehidupannya di akhirat kelak ; bukan karena menginginkan  balasan atau pahala yang banyak, melainkan untuk Allah dan semata–mata karena Allah. Ia adalah hamba, dan Dia adalah Tuannya. Dan seorang hamba harus menuruti semua perintah ‘Tuannya’ , karena menunjukkan kepatuhan adalah hal–hal yang mutlak, bukan karena mencari keuntungan dengan balasan pahala atau sebagainya. Orang yang membelanjakan seluruh hartanya dan tidak mengharapkan balasan apa–apapun, termasuk orang–orang yang dilindungi dan dijaga Allah di dunia dan di akhirat.

Seorang Waliyullah perempuan yang bernama Rabi’ah al-‘Adawiyah pernah berdo’a kepada Allah, yang lebih kurang bunyinya sebagai berikut : ”Wahai Tuhanku ! Berikanlah semua bagianku (hartaku) di dunia ini kepada orang – orang kafir, dan sekiranya ada ganjaran bagiku di akhirat nanti, berikanlah semua ganjaranku itu kepada hamba-Mu. Itu saja yang hamba minta dari-Mu, karena manusia dan apa yang dimilikinya, yang sementara itu, sebenarnya adalah milik – Mu jua.”

Itulah yang diminta seorang ‘Abid yang Sufi, yang merindukan Tuhannya, bukan harta kekayaan dan kemewahan Zahrah al-hayah ad-dunya yang dimintanya untuk mengecap kehidupan yang mewah dan bersenang-senang di dunia ini. Tetapi bila ia memintanya, nicaya Allah akan memberikan apa yang diinginkannya. Dan bukan pula pahala dan ganjaran akhirat yang banyak diharapkannya. Malah yang ada untuknya pun, semuanya sudah dihadiahkan kepada yang lain. Yang dikejar dan dicita-citakannya tidak lain adalah kecintaan dan maghfirah-Nya, perlindungan-Nya, perhatian-Nya, kedekatan dengan-Nya, dan akhirnya ia melihat Wajah-Nya. Itulah puncak karunia Allah Swt ! Karena itu, hari mereka tidak pernah berhenti untuk merindukan-Nya.

Setiap yang diberikan manusia di jalan Allah, yang dilakukan dengan tujuan untuk mencari keridhaan Allah, usaha yang dilakukannya itu tidak mungkin sia–sia belaka. Malah ia akan diganti dengan sekurang–kurangnya sepuluh kali dari pahala kita. Bahkan, jika ia benar–benar ikhlas, pahalanya akan dilipatgandakan lagi hingga mencapai tujuh ratus kali lipat atau lebih dari itu. Allah bersifat murah hati, sedangkan kita, memberipun tidak. Nikmat dan karunia-Nya untuk kita sangat berlimpah, terlebih lagi jika kita memberi sesuatu untuk menunjukkan rasa syukur kepada-Nya.

Suka memberi adalah sifat-Nya, dan Dia senang melihat hamba-Nya mencontoh sifat suka memberi yang menjadi sifat-Nya itu. Perbendaharaan Tuhan tidak akan kosong, dan bila Allah memberi, Dia akan memberi dengan tangan-Nya yang terbuka.

Allah Swt. Berfirman :

“Barang siapa yang datang membawa amal yang baik, maka ia akan mendapat pahala sebanyak sepuluh kali lipat dari kita, dan barang siapa yang datang membawa perbuatan yang jahat, dia tidak mendapatkan pembalasan, melainkan yang seimbang dengan kejahatannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan)” (al-An’am : 160)

Zakat Berfungsi untuk Membersihkan Diri

Satu lagi faedah zakat yaitu pembersihan. Zakat membersihkan harta dan diri kita. Jika diri kita dibersihkan dari sifar – sifat keegoan maka tujuan zakat dari segi ruhani telah tercapai. Memisahkan diri kita dari sebagian kecil apa yang kita sangka milik kita, akan mendatangkan ganjaran yang berlipat ganda di akhirat kelak, Allah menjanjikan :

“Siapakah yang mampu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipaatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dia akan mendapatkan pahala yang banyak.” (al-Hadid :11)

Sebenarnya harta kekayaan di tangan kita itu adalah pinjaman dari Allah. Selama ia ada di tangan kita, kita bisa berbuat apa saja yang kita suka. Tetapi hendaknya kita tidak melupakan haknya dan mengeluiarkan zakat. Dan jangan lupa hak itu bisa dicabut Allah kapan saja. Betapa banyak kita melihat  orang yang kaya raya, yang terus asyik bersuka ria, tetapi sesaat kemudian datang musibah menimpanya sehingga hartanya hilang lenyap, ataupun sudah tidak berguna lagi,  malah dinikmati orang lain. Ataupun harta itu menjadi milik orang lain dilain waktu, dan kita pula yang menanggung akibatnya.

Firman Allah :
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya” (asy-Syams : 9 )

Pensucian diri dilakukan dengan mengeluarkan zakat, bersedekah, serta berbuat amal–amal jariah. Selain ia membersihkan diri dari daki-daki dunia, ia juga memanjangkan umur dan menyelamatkan dari dari siksa sengsara di akhirat kelak. Betapa beruntungnya pemilik harta yang menyedekahkan hartanya sehingga ia mendapatkan ganjaran–ganjaran yang tidak dapat ditebus dengan uang nanti.

Zakat sebagai Hadiah yang Indah

Zakat ibarat sebuah hadiah yang indah, suatu perbuatan yang baik, yang diambil dari sebagian rezeki yang kita peroleh, baik berupa kebendaan maupun ruhani. Keluarkanlah zakat semata–mata karena Allah kepada hamba–hamba Allah. Meskipun dijanjikan pahala dan ganjaran yang berlipat ganda, janganlah niat kita berzakat itu karena menginginkan pahala. Berzakatlah karena Allah semata–mata, dengan hati yang penuh prihatin, cinta dan kasih sayang terhadap hamba –hamba Allah yang fakir miskin dan memerlukan, bukan mengharapkan sesuatu ganjaran, dan mengharapkan ucapan terima kasih sekalipun dari penerima zakat.

Karena kita mengharapkan sesuatu, sama artinya dengan kita meminta budi kita dibalas. Perbuatan seperti itu tidak bisa dikatakan ‘kita memberi karena Allah’, karena kita telah mengatas namakan Allah dengan sesuatu yang lain. Jelasnya, lidah kita berkata ‘sedekah itu diberikan karena Allah’ tetapii hati kita meminta sesuatu balasan dari penerima sedekah itu, biar apa saja, sampaikan ucapannya ‘terima kasih’, yang mana kalau tidak dikatakan begitu mungkin kita akan bersungut.

Ini gambaran sedekah suka rela. Namun pada zakat yang wajib, masalahnya lebih berat lagi, karena zakat  itu adalah hak Allah yang diamanahkan-Nya pada tangan kita. Sepatutnya, bila ada orang mau menerima zakat itu, dan kitalah yang mengucapkan terima kasih kepadanya, bukan si penerima zakat itu yang mengucapkan terima kasih, karena dia telah mempu meringankan beban amanat yang dipikul, dengan menerima zakat itu.

Walaupun  begitu, orang yang menerimanya wajar pula mengucapkan terima kasih kepada si pemberi, yang sama artinya dia berterima kasih kepada Tuhan, karena Tuhanlah yang menggerakkan diri orang itu untuk memberi kepadanya, tidak kepada yang lain. Harap dipahami permasalahan ini dengan baik.

Firman Allah :

“Hai orang – orang yang beriman ! Janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut – nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang bertanah di atasnya, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, menjadikan ia bersih (tidak bertanah), lalu mereka tidak mengusai sesuatu pun dan apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang – orang yang kafir ” (al – Baqarah : 264)

Wahai manusia! Janganlah mengharapkan sembarang ganjaran kediniaan dari amalan yang kamu lakukan, karena itu akan merusak amalan kamu sehingga ia menjadi sia –sia, tidak dipandang oleh Allah Swt. Tetapi lakukanlah amalan itu karena Allah semata – mata, tidak ditujukan  dengan yang lain, karena amalan yang ditujukan dengan yang lain itu akan ditolak, tidak diterima Allah. Rahasiakanlah amalan kamu itu sehingga jangan ada orang lain yang tahu. Hanya Allah saja yang tahu. Bukankah sudah cukup, jika amalan itu hanya Allah saja yang tahu, tanpa diperlihatkan kepada yang lain, karena amalan yang diperlihatkan itu ialah amalan yang ditujukan  untuk sifat riya’, dan sifat riya’ sungguh merusak amalan manusia !

Firman Allah :

“ Kamu tidak akan sampai kepada ketaatan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan itu, maka sesungguhnya Allah mengetahui “ (Ali Imran :92)

Harta itu adalah harta Allah Swt

Semua harta yang kita miliki, pada hakikatnya adalah milik Allah. Selama berada di tangan kita, harta itu hanyalah pinjaman dari Allah, karena setiap saat Allah dapat mengambilnya kembali. Jadi, sementara  harta itu ada di tangan kita, gunakanlah harta itu di jalan Allah, karena apa yang kita infakkan di jalan-Nya akan menjadi harta yang hakiki. Kita harus ingat bahwa setiap infak yang kita berikan akan mendapat balasan di hari akhirat kelak. Infak inilah yang menjadi bekal yang sangat kita perlukan pada waktu itu. Dan balasan yang diberikan Allah itu akan berlipat ganda hingga sepuluh kali amalan yang telah kita lakukan. Demikianlah seterusnya hingga menjadi lebih banyak dari itu, sesuai dengan kehendak-Nya.

Jelaslah bahwa apa yang kita infakkan, sebenarnya itulah yang menjadi harta kita. Dan apa yang kita pertahankan mungkin suatu saat akan diambil kembali oleh Tuhan yang memberinya atau mungkin akan menjadi hak orang lain. Betapa banyak malapetaka yang menimpa orang–orang kaya yang telah mengabaikan kewajiban atas hartanya. Harta adalah fitnah, sebagaimana yang diberitahukan oleh Allah di dalam firman-Nya :

“Bahwasanya harta kamu dan anak – anak kamu itu adalah fitnah, dan di sisi Allah ada pahala yang besar “ (at – Tagabun : 15)

Jadi, jika harta itu tidak diinfakkan di jalan yang benar, seperti yang diperintahkan Allah, maka harta itu akan menjadi fitnah. Artinya, jika si pemiliknya itu tidak lulus dalam ujian tentang harta yang dimilikinya, maka harta harta itu akan menjadi fitnah yang bisa melumatkan pemiliknya. Fitnah yang dijatuhkan kepada hartawan yang lalim itu mengandung dua  pengertian. Pertama, ada kalanya fitnah itu menimpa dirinya di dunia dengan berbagai cara yang sudah jelas hukumannya. Kedua, jika tidak di dunia, fitnah itu akan menelan pemiliknya di akhirat berupa ular besar yang akan menyulitkannya dengan berbagai macam siksaan, na’uzu billahi min zalik.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa diantara harta kita terdapat hak fakir miskin dan orang orang terlantar yang membutuhkan bantuan kita, khususnya kaum kerabat dan tetangga dekat. Hak fakir miskin  dalam konteks ini bukan berarti zakat yang sudah menjadi kewajiban atas harta kita yang harus dibayarkan. Bahkan selain zakat, adapula kewajiban– kewajiban lain yang harus dikerjakan, yaitu sedelah sukarela untuk membantu orang–orang yang memerlukannya.

Selain itu, apabila harta itu tidak digunakan sesuai dengan kehendak syari’at Islam, maka bila pemiliknya meninggal dunia, harta itu harus pula ditinggalkannya. Akhirnya harta peninggalannya itu akan menjadi hak orang lain, yakni hak para warisnya. Semoga para warisnya memanfaatkannya di jalan yang baik agar pahalanya terus mengalir kepada pemilik asal. Tetapi jika harta itu dibelanjakan di jalan yang penuh dosa dan maksiat yang tidak diridhai Tuhan, maka bencana yang turun karena harta itu akan mengalir pula kepada pewarisnya. Ia akan ditahan dan diminta pertanggungjawaban atas harta yang diwariskannya itu. Itulah ujian dan fitnah yang berat yang akan ditanggung oleh orang yang mewariskan harta itu. Allah telah berfirman :

“………dan Dia akan memberikan kekuasaan kepada kamu di muka bumi ini agar Dia melihat apa yang kamu kerjakan “ (al – A’raf :126)

Itulah peringatan Tuhan kepada hamba-Nya agar mematuhi peringatan itu untuk kebaikan dirinya. Sepintas, berinfak di jalan Allah tampak seperti perbuatan yang merugikan bila dipandang dari ukuran dunia, karena harta itu akan semakin berkurang. Namun, dibalik kerugian itu tersimpan keuntungan yang besar, yang sangat berguna bagi mereka yang rela menyisihkan sebagian hartanya untuk orang–orang yang memerlukannya. Balasan yang akan diterima di akhirat itu tidak dapat disamakan dengan besarnya harta kekayaan di dunia. Kelak harta yang diinfakkan itu akan semakin berkembang, insya Allah, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw.  :

Artinya : “Mereka yang menyedekahkan hartanya kepada orang lain, hartanya tidak akan berkurang. Bahkan, harta itu akan bertambah, dan bertambah

Wabillahi’taufik wal’Hidayah wal’inayah Wassallamualaikum Warahmatullahi Wa’baraakatuh Wa’maghfirah

One thought on “Masalah Zakat

  1. Mungkin saya salah seorang yang miskin ruhani yang anda sedekahkan dengan artikel agama dan ayat2 suci Al Quran. Apa2pun, terima kasih.

Leave a comment